KYAI KAMPUNG

 "Oh inikah ajengan (kyai) sepuh yg akan kuwawancara? Pimpinan pesantren tertua di desa?"
Aku terperanjat. Seorang lelaki tua bercaping dgn golok di tangan, kaos oblong dan celana pendek, seperti kebanyakan petani pd umumnya. Tidak ada sorban melingkar di leher. Tidak ada kopiah putih di kepala. Atau sarung dan tasbih. Selain tatapannya yg teduh berwibawa.
"Nyari bapak?" Tanyanya. "...Ada apa? Bapak mau ke kebun nyadap nira. Ada ibu di dalam." Ujarnya lg. Semua serba sederhana. Dengan ratusan santri yg dimilikinya, ia tetap mencari nafkah spt kebanyakan org lainnya. Memang, kyai2 di kampung tak pernah meminta bayaran kpd para santrinya. Mereka adalah pribadi2 mandiri.
Seketika terbayang wajah2 ustad televisi yg ngetopnya tak kalah sm artis. Yg tampilannya necis berwajah kelimis. Yg tarif sekali ceramah hanya terjangkau oleh kalangan tertentu. Tiba2...teringat sebuah tulisan, katanya ustad itu ada yg dilahirkan televisi, cukup pintar menghibur, lucu, pandai berkata2 bijak, punya ribuan follower, tak perlu belajar ngaji hingga puluhan tahun. Sebaliknya, ada yg memang lahir dr rahim masyarakat. Krn pengakuan atas keluasan ilmunya. Yg mau ikut pengajiannya tak perlu bayar apalagi daftar. Sosok2 yg sederhana. Paradoks itu selalu ada memang...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini