Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2013

Maastricht: Kota Tua yang Menawan

Gambar
Mengelilingi Negeri Kincir Angin (2)  stasiun maastricht Setelah ‘kenyang’ menikmati keindahan Den Bosh dengan keunikan binnendiaze dan gereja tua St Peter, saya ditemani teman setia seperjalanan teh Tuti, melanjutkan perjalanan menuju kota Maastricht. Salah satu kota tertua di Belanda yang berjarak dari Den Bosh kira-kira 2 jam lagi. Satelah terkantuk-kantuk di kereta, sampailah kami di sebuah kota tua yang cantik ini.  Saat menginjakkan kaki di station, pertama-tama yang selalu menarik perhatian saya adalah hamparan  lautan sepeda yang berada di parkiran. Setelah itu, mata pun tertuju pada sign atau penunjuk arah menuju kota. Teh Tuti pun menunjuk ke sebuah plang yang menunjuk berbagai arah yang berbeda. "Lihat plang merah itu. Jika ada plang merah, artinya ada jalur sepeda." Saya pun melirik ke arah plang merah bertuliskan ‘Belgie’.  “Artinya, dari sini kita   bisa sampai ke Belgia dengan sepeda " jelas teh Tuti lagi. (Lihat cerita saya tenta

Binnendieze: Wisata ‘gorong-gorong’ di Den Bosch

Gambar
Menjelajahi Negeri Kincir Angin (1)  pintu masuk wisata binnendieze Pernahkah Anda membayangkan berjalan-jalan dengan perahu di dalam saluran air yang sempit dan gelap yang membentang di bawah gedung atau perumahan? Ya, mirip gorong-gorong atau saluran pembuangan air. Pasti tak pernah terpikir untuk mengunjungi tempat seperti itu. Tapi, itulah tujuan wisata populer di kota ‘s-Hertogenbosch atau lebih dikenal dengan Den Bosch. ‘s-Hertogenbosch terletak di bagian selatan Belanda yang menjadi ibukota North Brabant. Dengan perjalanan kurang lebih 1,5 jam dengan kereta dari Leiden, tempat saya menghabiskan waktu selama di Belanda, mengunjungi Den Bosch memberi pengalaman yang sungguh berbeda. Sebagai kota tua yang unik, Den Bosch memiliki sejarah panjang. Salah satunya adalah sebuah kanal yang tersembunyi di bawah kota yang dikenal dengan nama Binnendieze.   Kota tua berlahan sempit Saat perahu berkapasitas 16 orang yang saya naiki bersama sejumlah pengunjung lain mulai memas

Kisah Ramadhan (1)

Ini adalah Ramadhan kedua kami di negerinya para kanguru. Dulu, saat memulai Ramadan kami yang pertama, ada satu hal yang terus hidup dalam ingatan saya. Saat itu, sebagai minoritas Muslim, kami harus memberi pengertian kepada anak-anak akan beratnya tantangan berpuasa di negri non-Muslim jauh-jauh hari sebelum puasa tiba. “Puasa di sini lebih besar pahalanya ketimbang saat Miko puasa di Indonesia,” begitu saya mengawali motivasi pada putra semata wayang kami yang saat itu berusia 8,5 tahun. “Memangnya kenapa, bu?” tanyanya penasaran. “Karena godaannya akan lebih besar” “Seperti apa?” ia tambah penasaran. “Bayangkan saja, saat semua temanmu di kelas sedang menikmati snack time dan makan siang, kamu harus tetap duduk di kursimu, karena saat makan tidak boleh  ada yang berkeliaran di luar kelas. Lalu, kamu hanya bisa melihat mereka makan sementara perutmu keroncongan. Itu perjuangan yang sangat luar biasa, nak. Di Indonesia, saat kamu puasa tidak ada orang makan di