Binnendieze: Wisata ‘gorong-gorong’ di Den Bosch

Menjelajahi Negeri Kincir Angin (1)


pintu masuk wisata binnendieze
Pernahkah Anda membayangkan berjalan-jalan dengan perahu di dalam saluran air yang sempit dan gelap yang membentang di bawah gedung atau perumahan? Ya, mirip gorong-gorong atau saluran pembuangan air. Pasti tak pernah terpikir untuk mengunjungi tempat seperti itu. Tapi, itulah tujuan wisata populer di kota ‘s-Hertogenbosch atau lebih dikenal dengan Den Bosch.
‘s-Hertogenbosch terletak di bagian selatan Belanda yang menjadi ibukota North Brabant. Dengan perjalanan kurang lebih 1,5 jam dengan kereta dari Leiden, tempat saya menghabiskan waktu selama di Belanda, mengunjungi Den Bosch memberi pengalaman yang sungguh berbeda. Sebagai kota tua yang unik, Den Bosch memiliki sejarah panjang. Salah satunya adalah sebuah kanal yang tersembunyi di bawah kota yang dikenal dengan nama Binnendieze.
 
Kota tua berlahan sempit
Saat perahu berkapasitas 16 orang yang saya naiki bersama sejumlah pengunjung lain mulai memasuki ‘gorong-gorong’ alias sungai di bawah kota itu, saya langsung merasa takjub. Seorang tour guide yang juga operator perahu itu mulai bercerita mengenai setiap sudut saluran air yang kami lalui. Meskipun dia hanya berbicara dalam bahasa Belanda, untunglah saya memiliki catatan dalam bahasa Inggris yang diperoleh saat membeli tiket. Kisah bagaimana kota ini mula-mula dibangun di atas anak sungai sungguh menarik.

saluran di antara bangunan tua
Sebuah wilayah yang awalnya hamparan pasir di antara rawa-rawa yang terletak antara sungai Dommel dan Aa, mulai dibangun pada tahun 1150. Pada masa itu, untuk melindungi diri dari serangan musuh, warga membangun benteng berupa dinding yang dibangun mengelilingi kota. Lalu parit-parit dibangun di sepanjang sungai Dommel dan Aa. Ketika kota berkembang pesat karena pertumbungan ekonomi, tanah pun terasa menjadi sangat sempit. Pada abad 14 dinding kota yang kedua pun dibangun untuk memperluas kota. Hal ini membuat anak-anak sungai terkepung di dalam kota. Saluran-saluran air inilah yang dinamai Binnendieze.

perahu wisata berkapasitas 15 orang
Pada tahun 1500an, Den Bosch menjadi kota yang penting dengan 25.000 penduduk. Berbagai keperluan yang dibawa kapal-kapal asing yang berlabuh di Vughterstoom kemudian dipindahkan ke kapal-kapal kecil dan dibawa melalui Binnendieze. Pada masa itu, berbagai keperluan dilakukan melalui transportasi air karena transportasi darat belum memadai.
Sungai itu telah ada sebelum penduduk membangun rumah. Binnendieze sendiri mengalir di belakang rumah mereka. Mereka pun membangun semacam tempat kerja di belakang rumah agar memiliki akses ke Binnendieze, lengkap dengan tangga dan pintu menuju sungai. Air dari tempat ini digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk industri, seperti pembuatan kulit, besi, hingga bir. Juga dipakai untuk keperluan sehari-hari seperti untuk minum, memasak, dan pembuangan air kotor sekaligus. Ketika kota berkembang, penduduk dilarang membangun rumah di luar dinding-dinding kota demi alasan keamanan. Maka, penduduk pun membuat bangunan di atas dan kiri-kanan sungai.
Sejak 1874, banteng kota sudah tidak lagi diperlukan. Orang-orang pun mulai diijinkan membangun, bekerja, dan hidup di luar benteng kota. Pembangunan jalan kereta dan infrastruktur kota yang mulai berkembang membuat fungsi Binnendieze semakin berkurang.  Namun demikian, saluran ini masih dijadikan pembuangan air kotor atau got oleh sekitar 800 rumah sehingga membuatnya sangat kotor dan bau.
 
Menjadi tempat wisata
Pada tahun 1964, dewan kota memutuskan untuk menutup semua saluran air. Akan tetapi, hal ini tidak bisa dilakukan sebelum penduduk memiliki saluran pembuangan air yang baru. Beruntunglah, sejumlah orang menyadari pentingnya nilai sejarah-budaya Binnendieze dan berupaya untuk mencegah penutupan total saluran air tersebut. Pada tahun 1973, perbaikan yang unik dan ekstensif pun dilmulai. Perlu waktu 25 tahun untuk menyelesaikannya, yakni hingga 1998. Dananya murah? Sama sekali tidak. Pemerintah menghabiskan 20.200.000 EUR atau setara dengan 2,5 trilyun rupiah untuk merenovasi tempat tersebut. Restorasi pun dilakukan dengan sebisa mungkin tetap menjaga struktur bangunan yang asli.
Maka, sepanjang perjananan tur bernuansa sejarah itu, masih bisa ditemukan bekas saluran pembuangan air dari rumah-rumah ke sungai di dinding-dinding dermaganya. Juga sejumlah akses pintu dan tangga dari rumah-rumah ke saluran air tersebut. Bahkan, di beberapa bagian dinding sungai masih dapat ditemukan patung-patung kecil, seperti pantung Bunda Maria yang dipahat di dinding. Awalnya, terdapat 12 km waterways dengan 20 persimpangan dan 100 jembatan di dalam benteng kota tersebut. Saat ini, tersisa 2,5 km saja dan sepertiganya mengalir di bawah rumah-rumah penduduk.
Menjelajahi saluran air tua Binnendieze selama 50 menit seolah menjadi sebuah oasis keheningan di tengah kota yang sibuk. Bangunan-bangunan tua dirawat dengan luar biasa dengan metode yang disebut ‘twin-gables’. Sebuah metode perawatan yang membutuhkan lebih sedikit bata yang mendistribusikan berat bangunan melalui lengkungan-lengkungan dinding secara lebih efisien. Dinding-dinding yang melengkung di atas waterways dibuat untuk menyangga dan memperkuat bangunan, sementara bangunan-bangunan tua di kiri-kanan dan atas  di sepanjang saluran air juga diperkuat oleh sejenis tali besi yang menempel di dinding. Hal seperti ini dapat ditemui di hampir seluruh bangunan tua di Belanda yang memang dirawat dengan sangat baik.
 
Di antara pemandangan yang dapat ditemukan sepanjang perjalanan bawah kota itu adalah gereja asli bergaya gotik yang dibangun 1533. Ada juga bagian benteng kota kedua yang dibangun pada awal abad 14. Saat berada di antara saluran air yang sempit tepat di bawah jantung kota, akan terlihat pemandangan khas tempat-tempat tua: jaring laba-laba yang memenuhi atap dinding, rumah kelelawar, dan kegelapan panjang tak bertepi yang tak mampu ditembus pandangan mata.
Saat melewati saluran sempit dengan lebar  kira-kira 1 meter dan kedalaman 1,2 m, perahu tampak bergerak sangat hati-hati dan pelan agar tak membentur dinding. Kepala pun harus sedikit ditundukkan. Lalu, perahu pun tiba di jalur parit yang terbentang luas di sepanjang benteng kota. Dari sini pemandangan ke arah Town Hall tampak jelas, seperti berada di atas sungai yang luas, dengan banteng tua di sebelah kiri dan parit-parit yang terbentang di sisi kanan. Di antara banteng itu, masih terpasang monumen senjata berupa kanon sebagai alat pertahanan menghadapi musuh. 
Dengan tiket cukup 7 EUR, berjalan-jalan di atas waterways di bawah kota ini menjadi pengalaman yang luar biasa. Kita seolah tengah menelusuri kehidupan masyarakat berabad-abad yang lampau. Sungguh sebuah perjalanan unik yang patut dicoba.
 
Jika suatu saat penduduk di tanah air sudah bisa berhenti membuang sampah ke sungai, serta pemerintah punya kemauan besar untuk memeliharanya, bukan tak mungkin sungai-sungai yang membelah kota seperti Cikapundung pun dapat menjadi tempat wisata yang asyik.

 

Komentar

  1. BElANDA memang jago dalam urusan irigasi dan saluran air. Lihat coba saluran-saluran air yang bersilang dan bertumpang di sekitar kita (pertama kali saya tahu sistem irigasi seperti ini di Lumajang, Jawa Timur), tentu menakjubkan karena hal itu sudah dibangun ratusan tahun yang lalu. namun, dalam hal kokohnya, ketahanannya masih kalah sama bangunan buatan Rusia.

    Ya, seperti kata Anda, kita bisa merencakan hal serupa, baik di Kalimas ataupun di Cikapundung, namun jika orang sudah tidak biasa buang sampah ke sungai...

    BalasHapus
  2. Eh, sebentar, airnya kok cokelat begitu? Apa memang itu yang dibuat air minum dan juga buang kotoran oleh beberapa masyarakat setempat?

    BalasHapus
  3. Itu cerita jaman dulu, cak. Pernah dipake berbagai keperluan, termasuk pembuangan air kotor. Kalau sekarang ya enggak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini