Kisah Ramadhan (1)

Ini adalah Ramadhan kedua kami di negerinya para kanguru. Dulu, saat memulai Ramadan kami yang pertama, ada satu hal yang terus hidup dalam ingatan saya. Saat itu, sebagai minoritas Muslim, kami harus memberi pengertian kepada anak-anak akan beratnya tantangan berpuasa di negri non-Muslim jauh-jauh hari sebelum puasa tiba.

“Puasa di sini lebih besar pahalanya ketimbang saat Miko puasa di Indonesia,” begitu saya mengawali motivasi pada putra semata wayang kami yang saat itu berusia 8,5 tahun.

“Memangnya kenapa, bu?” tanyanya penasaran.

“Karena godaannya akan lebih besar”

“Seperti apa?” ia tambah penasaran.

“Bayangkan saja, saat semua temanmu di kelas sedang menikmati snack time dan makan siang, kamu harus tetap duduk di kursimu, karena saat makan tidak boleh  ada yang berkeliaran di luar kelas. Lalu, kamu hanya bisa melihat mereka makan sementara perutmu keroncongan. Itu perjuangan yang sangat luar biasa, nak. Di Indonesia, saat kamu puasa tidak ada orang makan di kelas atau di tempat umum. Semua berpuasa atau setidaknya orang yang tidak berpuasa tidak boleh terlihat makan di depan orang puasa.” Begitu ibu bercerita panjang lebar. Si anak tampak mendengarkan dengan seksama.

“Lalu?” rupanya ia masih ingin mendengar kelanjutan cerita tentang perbedaan puasa di dua Negara.

“Belum lagi, jam sekolah. Di sana, jam sekolah dikurangi, aktivitas juga dikurangi. Di sini, jam sekolah tetap, dari pagi sampai sore. Aktivitas juga tidak dikurangi. Jika ada pelajaran olah raga kamu harus ikut seperti teman-teman lain.”

“Bagaimana kalau miko tidak kuat berpuasa?”

“Puasa itu sebuah latihan, nak. Saat kita sedang belajar, kita bisa melakukannya secara bertahap sesuai kemampuan kita. Jika sudah tidak kuat, tidak boleh dipaksakan. Begitu prinsipnya. Tapi, setelah cukup umur (baligh), itu bagian dari kewajiban yang harus dilakukan setiap Muslim.”

“OK. Miko mengerti. Di Indonesia, Miko sudah tamat puasa sejak kelas 1 SD, jadi di sini Miko juga mau tamat puasa,” tekadnya.

“Itu hebat, nak”.

Suatu hari. Saat di perjalanan pulang sekolah. Ia berbagi cerita pada Ayah yang menjemputnya.

“Ayah, puasa Miko hari ini pasti pahalanya lebih besar.”

“O ya? Memangnya kenapa?” ayah curious.

“Karena hari ini, di sekolah ada cooking class. Miko dan teman-teman harus memasak makanan yang bahannya diambil dari kebun di sekolah. Lalu, saat teman-teman menikmati hasil masakan kami, miko hanya bisa melihat.”
“Wah, itu hebat sekali nak. Perjuangan yang luar biasa,” ayah menyemangati.

Sesampainya di rumah, ayah pun menceritakan kisah itu pada saya. Saya tersenyum. Lalu memeluknya. Penuh haru.


Komentar

  1. sebuah suasana yang senang... betapa bahagia saat Anda menulis ini sambil mengingat mereka yang dicinta.. ow...

    BalasHapus
  2. Senang juga mendapati Anda mampir di sini hehehe

    BalasHapus
  3. Nah, tadi saya menulis komentar di artikel tentang rumah Victor Hugo di Belanda dan usul agar tulisan agar lebih dari sudut pandang traveler. Nah, ini yang saya maksud ya model seperti ini...

    Oh, ya. sekarang saya sudah follow akun ini. Jadi, saya akan ikuti tulisan-tulisan Anda yang jaminan mutu :-)

    BalasHapus
  4. Siaaap... wah, matur suwun sanget, nanti aku juga mau follow akunmu sbg blogger aktif... aku sih blogger iseng yg cuma posting kalo lg mood hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini