Postingan

Mencintai Buku Sejak Dini

Oleh: Neneng Yanti Khozanatu Lahpan* Darurat baca. Itulah dua kata yang tepat untuk menggambarkan situasi rendahnya minat baca masyarakat Indonesia saat ini. Di tengah revolusi teknologi yang demikian dahsyat melanda masyarakat global, tantangan tiap orang untuk membaca buku pun semakin besar. Di Indonesia, masyarakat lebih banyak menikmati acara-acara televisi dan menghabiskan waktu mengobrol di media sosial ketimbang membaca buku. Hal itu terlihat dari tingginya rating acara-acara tertentu di televisi dan semakin meningkatnya pengguna media sosial berbagai platform di Tanah Air. Untuk sebuah aplikasi media sosial, misalnya, jumlah pengguna di Indonesia adalah kelima terbesar di dunia. Ibarat penyakit, kondisi ini sudah pada tahap kronis. Data yang dikutip sejumlah media mengenai rendahnya tingkat membaca masyarakat Indonesia demikian mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan 2014 oleh lembaga pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan dunia, UNESCO, misalnya, menyebut rata-rata orang

Eden, Kota Kecil Seperti Surga

Gambar
(Catatan perjalanan road trip Melbourne-Sydney #1) EDEN adalah sebuah kota kecil di pinggir pantai, di perbatasan Melbourne-Sydney. Lokasinya  hilly , datarannya tinggi, jalan-jalannya pun naik turun dan berliku. Laut terlihat di bawahnya. Indah sekali. Pertemuan dua sisi pantai di Twofold Bay yang hanya dipisahkan oleh jalan Pantainya sangat popular, namanya Twofold bay. Dua pantai dengan ujungnya yang saling berdekatan, berada di dua teluk yang berbeda. Hanya dipisahkan oleh jalan. Di sisi pantai sebelah kanan jalan, sebuah dermaga tempat kapal-kapal menambatkan jangkarnya. Sedangkan, di sisi pantai yang kiri, pasir-pasir berwarna perak berbias cahaya matahari; tempat anak-anak berlarian, dan orang dewasa menghabiskan waktu untuk merasai butir-butir pasir di telapak kaki, di bawah matahari yang hangat, disertai udara yang segar. Beberapa meter di atasnya, di sebuah tempat duduk yang didesain memiliki view pantai yang keren. Di sebuah meja kayu, saya dan ke

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Gambar
Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian Itu adalah peribahasa lama yang umum kita pakai sebagai penyemangat tentang pentingnya bersabar melalui segala kesakitan dalam berproses untuk kemudian menikmati hasilnya. Peribahasa ini berlaku juga dalam memakai kawat gigi. Ada banyak alasan orang memasang kawat gigi, baik estetika maupun kesehatan. Dan alasan saya adalah keduanya. Saat memutuskan memakai kawat gigi, usia saya sudah masuk 39 tahun. Tidak lagi muda. Setelah konsultasi, tanya sana-sini dan riset di internet, pada dasarnya tidak ada kata terlambat untuk pemasangan kawat gigi. Usia berapapun bisa. Tentu saja, semakin tua kondisi gigi semakin rumit dan perawatan pun perlu waktu lebih lama. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk memasang kawat gigi.  Sejak lama saya memang selalu berurusan dengan gigi. Entah berapa gigi yang sudah ditambal. Beberapa dengan perawatan saraf. Lalu, gara-gara ada gigi lama

Malakan

Namanya ‘malakan’. Siapakah dia? Ia adalah sesosok mahluk yang menyerupai kita saat kita berada di alam barzakh, demikian penjelasan Ustad Usep dalam sebuah pengajian. Ukurannya sesuai dengan apa yang kita lakukan saat hidup. Ia adalah jelmaan amal baik kita. “ata’rifuni (apakah engkau mengenalku)?” tanya malakan pada arwah saat berada di alam barzah.  “Aku adalah amalan baikmu. Aku adalah serupaanmu. Aku akan menemani hari2mu agar tak kesepian. Di akhirat nanti, aku pula yang akan bersaksi atas kebaikanmu."  Saat kita berada di alam barzah yang gelap, kita akan sepi sendiri, tak ada yang menemani. Malakan akan menghibur kita sehingga kita tak lagi kesepian. Malakan akan bersaksi atas kebaikan-kebaikan kita di yaumil akhir. “Semakin banyak kebaikan yang kita lakukan selama hidup, semakin besar sosok malakan yang menemani kita ini,” ujar ustad Usep lagi. Dalam penjelasan Ustad Usep, alam barzakh itu semacam sebuah kondisi yang memisahkan dua alam, yakn

GURU

Gambar
When I felt there was something wrong with me, I decided to go to find another teacher. I stopped swimming for 2 months. I felt unmotivated. I stopped learning. But then, I forced myself to find another teacher.  My new teacher is very interesting person. In the first meeting, I told her “I’m doing free style” and I explained that this is my third term (almost 9 months actually since my first lessons). After looked at my “pre-test”, what she said was surprising me, “I will fix everything and I will teach you again from the beginning, from ‘kicking’ (kicking is a very basic technique in swimming). So, for the next 5 weeks you will only learn ‘kicking’.” What??? I learnt swimming for almost a year and she will only teach me kicking for 5 weeks? But, my response was I put big smile on my face and saying “all right, no problem”.   To convince me, she asked to other students, “how long I teach you ‘kicking’?” “All the time,” he said with smile. “And how it is?” “It helps

Bimbingan

Gambar
Salah satu pengalaman berharga belajar dalam iklim akademik barat adalah sikap encouragement dari dosen/pembimbing. Relasi pembimbing-mahasiswa di kampus-kampus di luar negeri seringkali lebih bersifat kolaboratif ketimbang seperti guru-murid yang bersifat tradisional (bahwa ilmu guru itu lebih luas, lebih mengerti, murid itu tidak tahu apa-apa sehingga harus tunduk dengan semua ucapan guru, dsb). Relasi seperti itu hampir tidak ada di sini. Bahkan, terkadang mahasiswa bimbingan dijadikan tempat belajar mengenai isu-isu baru oleh para dosen pembimbing. Dosen pembimbing itu lebih dulu punya pengalaman. Kira-kira begitu mereka memposisikan diri. Dalam banyak interaksi proses bimbingan,  kita sebagai student juga dituntut lebih aktif dalam mencari dan menemukan, bahkan menentukan apa yang penting buat riset kita. "This is your research, you know it better" begitu kira-kira komentar para dosen pembimbing di saat kita bingung mau ngapain. Sebagai mahasiswa produk lokal Indones

Pencarian dan Takdir

Gambar
Setiap orang melalui episode pencarian yang berbeda-beda dalam hidupnya. Ada yang sudah tahu apa yang dicita-citakan dan diinginkannya sejak semula. Lalu, belajar dengan keras hingga akhirnya benar-benar berhasil dengan cita-citanya. Begitu konsisten. Tapi, banyak juga yang melalui berbagai eksperimen atau bahkan menemukan jalan-jalan yang tak terduga dalam meniti perjalanan itu. Ambil kuliah ini tahu-tahu lebih suka mengerjakan itu yang tak ada hubungannya dengan kuliahnya, dll. Saya termasuk kelompok yang kedua. Saat saya kecil, jika ditanya soal cita-cita biasanya saya akan jawab ingin jadi guru. Karena hampir semua keluarga saya (ayah, ibu meski tidak bekerja secara formal juga lulusan sekolah guru, paman2/uwa saya dst) mengabdi di dunia pendidikan. Saat saya tinggal di pesantren, sejak kelas 3 SMP, sudah membantu ngajar di kelas yang bawah. Cita-cita jadi guru tak pernah hilang. Hingga suatu saat saya memutuskan ingin jadi guru bahasa Arab, tapi ternyata terdampar di dunia yang