Maastricht: Kota Tua yang Menawan

Mengelilingi Negeri Kincir Angin (2)

 stasiun maastricht
Setelah ‘kenyang’ menikmati keindahan Den Bosh dengan keunikan binnendiaze dan gereja tua St Peter, saya ditemani teman setia seperjalanan teh Tuti, melanjutkan perjalanan menuju kota Maastricht. Salah satu kota tertua di Belanda yang berjarak dari Den Bosh kira-kira 2 jam lagi.
Satelah terkantuk-kantuk di kereta, sampailah kami di sebuah kota tua yang cantik ini.  Saat menginjakkan kaki di station, pertama-tama yang selalu menarik perhatian saya adalah hamparan  lautan sepeda yang berada di parkiran. Setelah itu, mata pun tertuju pada sign atau penunjuk arah menuju kota. Teh Tuti pun menunjuk ke sebuah plang yang menunjuk berbagai arah yang berbeda.

"Lihat plang merah itu. Jika ada plang merah, artinya ada jalur sepeda."

Saya pun melirik ke arah plang merah bertuliskan ‘Belgie’. “Artinya, dari sini kita  bisa sampai ke Belgia dengan sepeda " jelas teh Tuti lagi.


(Lihat cerita saya tentang bersepeda di negri Belanda. Di setiap jalan-jalannya selalu ada jalur khusus untuk sepeda. Mengingat sebagian orang tetap memilih membawa sepeda kesayangannya meski bepergian ke luar kota, maka bis dan kereta pun memberi ruang-ruang khusus untuk sepeda). 

town hall alias bale kota
Sebagai salah satu kota tertua di Belanda, Maastricht memiliki sejarah yang amat panjang, sejak bangsa Romawi membangun kota tersebut pada abad 1 M. Kekayaan budaya dan warisan sejarahnya pun sangat menarik. Kota ini menjadi sangat multiculture karena berbatasan langsung dengan sejumlah Negara, seperti Belgia, Prancis, dan Germany. Untuk mencapai Belgia misalnya, bisa ditempuh dengan jalur sepeda , atau berwisata dengan perahu menyusuri sungai Maas hingga ke Lige di Belgia. Maastricht pun seperti melting pot bertemunya berbagai bangsa dan budaya. Kota ini juga sangat penting mengingat menjadi tempat terbentuknya masyarakat Eropa atau European Union beserta mata uangnya, Euro.

Dari stasiun Maastricht inilah penelusuran menuju kota pun dimulai. Aroma kota yang kuno nan menawan langsung terasa. Hampir semua bangunan di pusat kota, yang juga menjadi rute city walking tour merupakan bangunan-bangunan amat tua. Bahkan, bagian depan gedung tourist information centernya pun tampak sangat tua dan sedehana.
salah satu sudut kota
Uniknya, di gedung-gedung tua itu selalu tertera tahun pembuatannya. Sebagian di antaranya berasal dari abad 16-17. Buat pelancong seperti saya ini sangat luar biasa. Di kota ini, bangunan kuno itu dipelihara dengan sangat baik.

Sebagai kota kecil, kota ini memiliki gereja yang terhitung banyak sekaligus megah. Salah satunya gereja Basilica yang dibangun abad 11.  Banyaknya gereja itu konon disebabkan karena kota ini pernah menjadi pusat keagamaan.

salah satu gang
Tidak hanya struktur bangunan yang kekunoannya tetap dipertahankan, jalan-jalannya pun tersusun rapi dari bebatuan yang mungkin usianya ratusan tahun. Saat melihat gang-gang yang kecil dan sempit tiba-tiba saya teringat Bandung yang di beberapa tempat, seperti di daerah Andir atau Cicadas, rumah-rumah berderet di antara gang-gang kecil nan sempit. Bedanya di kota ini, gang-gang itu sangat bersih sehingga melewatinya pun terasa menyenangkan.

Fungsi bangunan-bangunan tua itu sudah banyak berubah. Hampir semua gedung-gedung tua itu telah berubah fungsi menjadi pusat-pusat bisnis seperti pertokoan, perkantoran, maupun rumah tinggal. Tapi yang saya kagum adalah tak ada yang berubah dari struktur bangunan yang berumur ratusan tahun itu. Bahkan, sebuah bangunan gereja yang tampilan luarnya sangat tua berlokasi persis di seberang tempat kami menaiki perahu. Tanpa saya duga ternyata bagunan itu telah berubah fungsinya menjadi toko pakaian.
bangunan gereja tua yang telah berubah fungsi


salah satu sisi gereja 
Menurut buku panduan turis, city tour ini bisa dilakukan cukup 1,5 jam dengan jarak sekitar 3 km mengelilingi kota tua tersebut. Tapi, sore itu saya terus terkesima dan mendatangi setiap bangunan, khususnya gereja tua yang amat menawan. Dus, 4 jam pun tak terasa dihabiskan dengan terus mengelilingi kota, dengan menyebrangi jembatan sungai Maas yang indah.
 
 Sayang memang, kami datang sudah sore, kami pun tak sempat mengunjungi St.Pieterberg dengan guanya yang menawan. Namun, syukurlah kami masih sempat touring dengan kapal atau renerij stiphout (boat trip) menyusuri sungai Maas dengan rute dalam kota. Dengan EUR 9, saya pun dapat menikmati gedung-gedung yang menjadi daya pesona atau landmark kota Maastrich, seperti gedung pemerintahan, gereja tua, termasuk sisi St Pieterberg yg tak sempat kami kunjungi itu. 


Saat kapal berada di persimpangan sungai yang berbatasan dengan Belanda-Belgia-Germany di sisi yang lain, kami pun berbalik arah karena ini hanya tour dalam kota.

Sungguh, berada di kota ini, rasanya seperti ada di sebuah kota kuno, seperti berada pada masa Romawi. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini