Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2012

Celebration Night: Ketika Anak-anak Bicara

Saya teringat pertama kali saya belajar bicara di depan umum kira-kira pada usia 10 tahun. Pada usia itu, saya sudah duduk di kelas 6 SD. Ayah saya lah yang pertama kali membawa saya pada forum public itu, yakni di sebuah forum pengajian tempat beliau biasa menyampaikan ceramahnya. Saat  ayah meminta saya menemaninya dan ikut menyampaikan ‘ceramah’, saya sungguh takut, tak percaya diri. Ayah pun  mengajari saya apa yang harus saya sampaikan di forum itu. Saya berusaha setengah mati mengapalkan materi berupa penjelasan sebuah surat dalam al-qur’an beserta tafsirnya. Surat An-Naba’ kalau tidak salah. Saya tidak ingat apakah saya cukup berhasil saat itu. Tapi, sejak saat itu saya punya lebih banyak kesempatan untuk berbicara di depan public, meskipun umumnya masih menghapal naskah yang sudah disiapkan sebelumnya, termasuk saat menghabiskan beberapa tahun di pesantren.  Kini, berpuluh tahun kemudian, saya menyaksikan untuk pertama kalinya putra saya, Miko, di usianya yang ke-8 berbicara d

AT-TAWAF: DARI CIANJURAN KE POP SUNDA RELIGIUS

Oleh Neneng Yanti Kh. Di tengah kehidupan budaya masyarakat kontemporer, seperti dikemukakan Yasraf A.Piliang (2007), kesenian tradisi dihadapkan pada kondisi yang paradoks. Di satu sisi, untuk bisa bertahan hidup seni tradisi membutuhkan daya-tarik dan pesona, berupa inovasi-inovasi kreatif yang bersumber dari tradisi itu sendiri. Di lain pihak, ada kebutuhan untuk tetap mempertahankan tradisi itu seutuhnya, karena melakukan perubahan dan inovasi berarti menghilangkan tradisi itu sendiri. Pada kondisi itu, sejumlah seniman Sunda yang bergelut dengan kesenian tradisi telah berhasil mengisi ruang-ruang ekspresi dalam budaya posmodern dengan melahirkan kreasi dam konsep baru dalam menyajikan kesenian tradisi. Proses adaptasi dan kemauan mereka untuk belajar membawa kalangan ini pada pergumulan yang panjang dan intens antara kesenian tradisi dengan hal-hal baru di sekelilingnya sehingga memungkinkan terjadinya perubahan paradigma, pergeseran cita-rasa, dan peningkatan wawasan berkes

CERITA LEGENDA DI TELEVISI

Cerita legenda kerap menjadi sumber inspirasi yang tak pernah habis dalam penciptaan karya-karya baru, baik film, sinetron, drama, dan sebagainya. Sejumlah film Hollywood , misalnya, memvisualkan kisah-kisah legenda dengan sangat menarik dan banyak diantaranya bersifat kolosal. Sebut saja kisah-kisah yang diambil dari legenda Yunani kuno yang kebanyakan bergenre heroik, seperti Gladiator , Patriot , Troy , dan lain-lain. Belum lagi kisah legenda bergenre dongeng seperti Cinderella , Pinokio dan sebagainya. Dan film yang terhitung baru adalah legenda ‘bintang jatuh’ yang dibuat film yang sangat memikat berjudul Stardust . Hal penting yang patut dicatat dalam mengapresiasi film-film tersebut adalah penggarapannya yang luar bisa, dengan detail properti, setting, kostum, dan lain-lain, yang belum bisa dibandingkan dengan produksi film kita. Di Indonesia, ketika industri televisi belum booming seperti sekarang, sejumlah drama radio yang mengambil rujukan cerita masa lalu, baik berupa d

FILM KARTUN ANAK "HATCHI"

Film kartun anak di televisi berjudul Hatchi mengisahkan Hatchi, seekor anak lebah madu yang tengah mencari ibunya. Ia tak pernah lelah terus berjalan untuk mencari sang ibu. Perjalanan yang dilaluinya tidak mudah dan banyak hambatan. Sebagai seekor anak lebah yang masih kecil, lemah, dan ringkih, Hatchi tidak jarang menghadapi hambatan yang begitu besar sehingga ia sendiri kadang tidak berdaya dan pasrah. Namun, setiap kali ia berada dalam situasi terjepit dan tak berdaya itu, selalu ada satu hal yang mampu membuatnya kembali bangkit, yakni semangatnya untuk bertemu ibunya. Dalam situasi sulit itu, Hatchi selalu berkata, “Mama, tolonglah aku!”. Mamanya, yang entah berada di mana, selalu muncul dalam bentuk bayangan yang memberi Hatchi semangat untuk bangkit dan tidak menyerah. Dengan kekuatan dan semangat itulah Hatchi selalu berhasil melalui berbagai hambatan, sebesar apa pun itu. Harapannya untuk bertemu sang ibu membuatnya mampu bangkit melawan apa saja yang menghalanginya. Berbaga

MIMIKU INSPIRASIKU

Dia, seorang ibu yang menemani hari-hari di masa remajaku. Pengganti ibuku yang berada nun jauh di sana. Mendampingiku melewati masa-masa yang penuh gejolak dan tantangan. Bersama-sama dengan puluhan, bahkan ratusan teman untuk ditempa dalam sebuah perguruan, bernama Pesantren. Garis tegas di wajahnya berbaur cahaya kelembutan. Sorot matanya yang tajam membiaskan warna pelangi di hati kami. Suaranya yang keras namun penuh sayang adalah pengingat saat kami alpa dan berjibaku dalam pertarungan identitas seorang santri putri. Teriakan-teriakannya saat menegur kami bak pecut yang membuat kami harus selalu waspada, disiplin, dan terjaga. Dia, selalu menggumamkan doa-doa seraya meniup ubun-ubun kami dengan penuh kelembutan setiap kali kami memohon didoakan dan menyalaminya penuh takzim. Dia, seorang perempuan bersahaja, tangguh, sekaligus sederhana. Dialah Ibu Nyai kami saat kami menjadi santri remaja, yang biasa kami panggil Mimi (sebuah panggilan khas pada orang tua di