CERITA LEGENDA DI TELEVISI

Cerita legenda kerap menjadi sumber inspirasi yang tak pernah habis dalam penciptaan karya-karya baru, baik film, sinetron, drama, dan sebagainya. Sejumlah film Hollywood, misalnya, memvisualkan kisah-kisah legenda dengan sangat menarik dan banyak diantaranya bersifat kolosal. Sebut saja kisah-kisah yang diambil dari legenda Yunani kuno yang kebanyakan bergenre heroik, seperti Gladiator, Patriot, Troy, dan lain-lain. Belum lagi kisah legenda bergenre dongeng seperti Cinderella, Pinokio dan sebagainya. Dan film yang terhitung baru adalah legenda ‘bintang jatuh’ yang dibuat film yang sangat memikat berjudul Stardust. Hal penting yang patut dicatat dalam mengapresiasi film-film tersebut adalah penggarapannya yang luar bisa, dengan detail properti, setting, kostum, dan lain-lain, yang belum bisa dibandingkan dengan produksi film kita.
Di Indonesia, ketika industri televisi belum booming seperti sekarang, sejumlah drama radio yang mengambil rujukan cerita masa lalu, baik berupa dongeng maupun legenda, sempat menjadi primadona dalam dunia hiburan masyarakat kita, khususnya di pedesaan. Beberapa cerita drama sangat populer, seperti Saur Sepuh atau Satria Madangkara dan Misteri Gunung Merapi. Pendengar setia jenis drama ini hampir tidak pernah melewatkan cerita, gejalanya mirip seperti penonton sinetron saat ini. Hanya saja, pilihan cerita di televisi tentunya lebih banyak dan variatif dibandingkan radio.
Pada saat industri televisi mulai semarak dengan bermunculannya televisi swasta, selera masyarakat pun bergeser, dari semula sekedar ‘pendengar’ menjadi ‘penonton’. Di televisi, cerita-cerita yang lebih dulu populer di radio pun diangkat ke layar kaca menjadi sebuah tontonan yang menarik bagi masyarakat yang semula hanya ‘mendengarkan’. Saur Sepuh dan Misteri Gunung Merapi sempat muncul dengan beratus episode. Tidak cukup dengan satu judul, akan tetapi karena banyaknya animo penonton sekuelnya terus dibuat.
Interpretasi Bebas
Ada fenomena menarik dalam ‘dunia cerita’ di televisi kita terkait tren mengangkat kisah-kisah legenda dalam sinema elektronik ini. Jika televisi identik dengan kekinian, kebaruan, trend, gaya hidup masa kini, maka mengangkat kisah legenda berarti mengambil cerita masa lalu dalam kemasan masa kini. ‘Kemasan’ yang erat kaitannya dengan ‘citra’ ini menjadi unsur penting dalam dunia hiburan. Bila dulu, cerita-cerita Saur Sepuh dan Misteri Gunung Merapi dikemas sesuai dengan ‘cerita asli’nya sehingga setting, properti, kostum, disesuaikan dengan gambaran cerita. Maka kini, ada gejala baru dalam penyajian cerita masa lalu tersebut. Kini, pembuat film atau sinetron tidak lagi direpotkan dengan setting, properti, dan kostum, istana zaman kerajaan dengan hutan belantaranya. Tetapi, kisah-kisah itu dimodifikasi dan direinterpretasi dengan ditampilkan dalam nafas kehidupan masa kini.
Dalam kajian budaya (cultural studies) televisi menjadi wilayah bagi pembenaran ideologi budaya massa. Sementara, dalam konteks posmodern, televisi, kata Jim Collins, sering dilihat sebagai “inti” dari budaya posmodern. Hal ini berdasar pada sejumlah gambaran tekstual dan kontekstual televisi. Dari sudut pandang pomodernisme yang negatif, televisi dipandang sebagai contoh jelas bagi proses simulasi, dengan reduksi kompleksitas dunianya pada arus perubahan khayalan yang dangkal dan kasar. Di sisi lain, kalau kita mengambil pandangan positif posmodernisme maka praktik visual dan verbal televisi dapat diajukan sebagai pengenalan intertektualitas dan “eklektisisme radikal” yang mendorong dan membantu dalam pembuatan “bricolase yang canggih” budaya posmodern (Storey, 263).
Hingga saat ini, setidaknya ada dua stasiun televisi yang mempertahankan jenis tontotan dengan mengambil kisah legenda, yakni TransTV dengan mataacara Dongeng/Legenda dan Indosiar dengan beberapa mata acara. Jika TransTV memberi sajian sinetron bertajuk Legenda seminggu sekali, maka Indosiar justru menjadikan tontonan semacam ini sebagai trademarknya dengan mengambil jam tayang dalam porsi cukup besar setiap hari pada mataacara Layar Indonesia pada pukul 13.00 dan FTV Pilihan pukul 16.00. Khusus pada hari Minggu, porsinya lebih besar lagi dengan beberapa mataacara, seperti Layar Indonesia, Sinema Keluarga, Sinema Utama, dan Sinema Minggu. Sebagai contoh, pada Minggu, 27 Januari 2008, ada Alice di Negeri Dongeng (Sinema Keluarga), Asal Mula Reog Ponorogo (Sinema Utama), dan Legenda Situ Bagendit (Sinema Minggu). Sedangkan pada Layar Indonesia mengambil cerita berjudul Dimas Anak Ajaib. Pada cerita terakhir, meskipun tidak mengambil unsur legenda tetapi masih mengandung unsur magik atau hal-hal di luar nalar.
Apa yang dilakukan televisi atau pembuat sinema itu barangkali sebuah proses interpretasi bebas atas cerita legenda. Ditengah maraknya sinetron yang mengadaptasi atau menjiplak cerita-cerita Taiwan, bahkan telenovela Amerika Latin (Tabloid Bintang edisi 874), maka penyajian cerita-cerita legenda demikian bisa jadi berupa bentuk adaptasi juga. Meski berasal dari cerita legenda atau dongeng, akan tetapi setting yang digunakan adalah setting masa kini. Bisa dikatakan hanya plot, tokoh, dan ceritanya saja yang diambil sebagai bahan cerita sedangkan setting yang digunakan adalah setting masa kini. Tidak ada lagi gambaran sosok perempuan dengan dandanan seorang putri yang mengenakan kemben dengan berbagai asesoris khas perempuan pada masa lalu atau gambaran laki-laki  bertelanjang dada dengan berbagai asesorisnya. Yang muncul kemudian seorang gadis cantik dengan dandanan modern dan mewah, serta sosok laki-laki yang gagah perlente setampan laki-laki yang disebut ‘metroseksual’.
Latar kerajaan diganti dengan rumah mewah nan megah, sosok raja atau ratu berganti sosok laki-laki kaya serupa bos atau pengusaha sukses dan istrinya yang cantik. Sementara, sosok mahluk gaib, yang baik ataupun yang jahat, antagonis atau protagonis, tetap dihadirkan dalam wujud atau gambaran sosok seram dalam pandangan manusia masa kini yang tak banyak beda dengan deskripsi masa lalu karena barangkali hantu, jin atau mahluk jahat sejenisnya tidak pernah mengalami perkembangan mode.
Dalam konteks ini, ada dua cara pandang yang dapat dikemukakan. Pertama, secara positif, media televisi sebagai media massa populer yang menjadi ikon budaya pop menjadi sarana yang sangat efektif dalam mengenalkan kembali kisah-kisah legenda yang barangkali sebagian besar generasi muda tidak lagi mendengarnya. Misalnya, kisah tentang asal muasal penamaan beberapa daerah seperti Banyuwangi, pulau garam Madura, dan masih banyak lagi. Selain itu, kisah-kisah patriotik dari pahlawan masa lalu seperti Panji Semirang, hingga dongeng-dongeng yang hidup dalam memori masyarakat seperti Keong Emas dihidupkan kembali dalam bentuk visual.
Dari sisi lain, khususnya pada aspek sinematografi terdapat kesan tayangan-tayangan itu dibuat dengan ‘gampangan’, pragmatis, terkesan seadanya. Kedangkalan dan banalitas inilah yang menjadi keprihatinan. Akibat dari cara-cara ‘gampangan’ itu, maka unsur-unsur penting dari sebuah kisah legenda nyaris hilang. Hal utama yang hilang itu adalah nilai kelokalan tempat cerita legenda itu berasal yang sebenarnya menjadi sesuatu yang khas dan menjadi sarana untuk membaca kekayaan budaya lokal tersebut. Semuanya ditarik dan digeneralisir dalam sebuah gaya pop yang dianggap lebih menarik dan mudah diterima semua unsur masyarakat. Padahal, melalui cerita legenda yang berasal dari berbagai daerah itu menjadi ajang bagi kita untuk mengenal lokalitas-lokalitas lain yang begitu kaya di negeri ini. Hilangnya aspek kelokalan itu diantaranya dapat dilihat dalam salah satu cerita yang ditayangkan Indosiar, Minggu 30 Desember 2007 mengenai Mundinglaya Dikusuma.
Mundinglaya Dikusuma
Perlu diketahui bahwa kisah Mundinglaya yang berasal dari tatar Sunda ini bukan kisah biasa, ia berasal dari tradisi tutur masyarakat Sunda lama yang bernama Pantun. Pengertian ‘pantun Sunda’ sangat berbeda dengan ‘pantun Melayu’. Pantun Sunda dianggap sebagai kesenian asli khas Sunda, yakni sebuah pertunjukan yang diiringi kecapi dengan cerita-cerita yang khas. Sedangkan pantun dalam bahasa Indonesia (Melayu) adalah sejenis puisi dengan larik dan bait yang tersusun dengan cara tertentu.
Dari segi fungsinya, pertunjukan pantun lebih merupakan medium spiritual dan religius masyarakat Sunda lama daripada sekedar hiburan sehingga tidak sedikit carita pantun yang bersifat mistis dan dianggap keramat. Salah satu cerita keramat itu adalah Mundinglaya Dikusuma. Mundinglaya berkisah tentang perjalanan si tokoh Mundinglaya dalam menemukan kesempurnaan hidup dengan melalui berbagai rintangan. Dengan berbekal ketabahan dan keteguhannya semua rintangan itu dapat dilalui. Bahkan, Jakob Sumarjdo (2003) menggambarkan kisah ini sebagai sebuah puncak perjalanan spiritual orang Sunda dengan simbol-simbol sarat makna.
Maka, menjadi fenomena yang menarik ketika sebuah kisah yang pada masyarakat asalnya demikian sakral, dianggap mitis dan keramat, tidak bisa dimainkan oleh sembarang orang, tempat, dan waktu, kemudian divisualkan di televisi dalam bentuknya yang canggih, populer, dan profan. Jalan ceritanya pun tak lebih dari kisah cinta sepasang anak manusia daripada sebuah proses perjalanan spiritual sang tokoh utama Mundinglaya. Terlepas dari berbagai kritik atas dangkalnya cerita-cerita sinetron atau sinema lepas di televisi serta pembuatan yang serampangan tanpa survei memadai, dari segi industri hiburan massa barangkali hal itu dianggap sah-sah saja karena yang menjadi kepentingan industri massa lebih menonjolkan aspek komersialisasi daripada pertimbangan lainnya.
Maka, penyajian Mundinglaya di televisi tak lebih dari romantika kisah cinta manusia bernama Mundinglaya dengan Dewi Asri daripada gambaran sesungguhnya berupa penjalanan spiritual Mundinglaya dalam mencapai kesempurnaan spritualitasnya. Tidak ada aspek kelokalan sedikit pun yang muncul dalam cerita itu selain peminjaman nama tokoh dan jalan ceritanya.
Apapun hasilnya, sebuah karya budaya pop memang lebih mengedepankan ‘selera’, kedangkalan, serba permukaan daripada hal-hal rumit menyangkut makna, identitas, nilai filosofi, dan sebagainya. Wallahu’alam.  

Neneng Yanti Kh., dosen STSI Bandung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini