Celebration Night: Ketika Anak-anak Bicara

Saya teringat pertama kali saya belajar bicara di depan umum kira-kira pada usia 10 tahun. Pada usia itu, saya sudah duduk di kelas 6 SD. Ayah saya lah yang pertama kali membawa saya pada forum public itu, yakni di sebuah forum pengajian tempat beliau biasa menyampaikan ceramahnya. Saat  ayah meminta saya menemaninya dan ikut menyampaikan ‘ceramah’, saya sungguh takut, tak percaya diri. Ayah pun  mengajari saya apa yang harus saya sampaikan di forum itu. Saya berusaha setengah mati mengapalkan materi berupa penjelasan sebuah surat dalam al-qur’an beserta tafsirnya. Surat An-Naba’ kalau tidak salah. Saya tidak ingat apakah saya cukup berhasil saat itu. Tapi, sejak saat itu saya punya lebih banyak kesempatan untuk berbicara di depan public, meskipun umumnya masih menghapal naskah yang sudah disiapkan sebelumnya, termasuk saat menghabiskan beberapa tahun di pesantren. 
Kini, berpuluh tahun kemudian, saya menyaksikan untuk pertama kalinya putra saya, Miko, di usianya yang ke-8 berbicara di depan umum dalam sebuah acara celebration night di sekolah barunya di Australia. Celebration night ini merupakan sebuah momen yang secara khusus didekasikan oleh sekolah untuk mengapresiasi karya anak-anak didiknya. Salah satunya adalah anak-anak diberi waktu untuk mempresentasikan project mereka di semester itu di depan guru, teman-teman, dan para orang tua. Saya takjub menyaksikan anak-anak International student yang datang dari berbagai Negara melakukan presentasi dalam bahasa Inggris dengan kreativitasnya masing-masing. Tahun ini project yang ditetapkan sekolah untuk kelas Miko, kelas 3, adalah tentang Outstanding Australians. Anak-anak diberi kebebasan memilih orang-orang Australia yang hebat yang berkontribusi penting pada negaranya, menurut versi mereka. Miko sendiri memilih Steve Irwin sebagai projectnya, yakni pemandu acara TV terkenal “The Crocodile Hunter” yang juga sempat popular di Indonesia. Ia dikenal sebagai wildlife expert dan conservationist yang sangat menyayangi binatang.
Berbeda dengan saya dulu, yang lebih banyak menggunakan teks-teks  hapalan yang sudah ada untuk berbicara di depan public, anak-anak ini sebelumnya telah dilatih bagaimana membuat tulisan yang baik, baik dalam bentuk eksposisi, persuasi, atau argumentasi. Ini berarti kemampuan menulis dilatih terlebih dulu baru kemudian dilatih untuk berbicara. Kedua skill ini pun didukung oleh kewajiban membaca setiap hari untuk membangun budaya literasi anak-anak. Karena pada prinsipnya, anak bisa menulis karena membaca, dan anak diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasannya dari apa yang ia baca yang kemudian dituangkan dalam tulisan. Maka sepertinya wajar jika saya sering melihat anak-anak sekarang jauh lebih pintar ketimbang masa saya dulu ketika akses pada informasi dan pengetahuan masih sangat terbatas. 
Meskipun kemampuan setiap anak untuk melakukan presentasi ini berbeda-beda, tapi satu hal yang saya catat dengan sangat menarik, yaitu bagaimana rasa percaya diri itu ditumbuhkan pada diri setiap anak. Tak peduli bagaimana hasilnya atau bagaimana mereka melakukan presentasinya, semua anak yang tampil mendapat apresiasi yang sangat positive dari gurunya. Semua mendapat pujian atas usaha-usahanya. Di sini lah, rasa percaya diri ditanamkan.
Saya sempat sangat khawatir dengan Miko saat ia tak mau berlatih di rumah. Saya berkali-kali bilang, “nak, nanti kamu tidak bisa tampil kalau tidak latihan,”. Dia hanya berujar, “Bisa, bu”.  Di saat-saat terakhir, saat saya meminta ayahnya untuk membantu melatihnya. Ayahnya berkirim pesan, “ia tidak mau latihan.” Hmmmm, baiklah, lalu saya katakan padanya, “tidak apa-apa, yang penting adalah pengalaman buat Miko karena ini adalah pertama kalinya ia akan tampil di depan umum. Percayalah pada dia. Kalau pun dia belum bisa maksimal, dia akan belajar dari pengalamannya ini untuk lebih baik lagi nanti.” Ayahnya pun setuju.
Saat waktu presentasi tiba dan mendapat giliran no.1, ia sama sekali tak terlihat nervous, sebaliknya sangat santai. Saya tambah khawatir. Aduh, ini anak kok cuek banget ya. Ah, baiklah lihat saja nanti, pikir saya. Saat gurunya, bertanya, “Miko, are you ready?”. “Yeah, I’m ready”, jawabnya santai. Meskipun Ia masih terkendala dengan keterbatasan bahasa, gurunya tetap mengapresiasinya dengan sangat baik. Pun dengan saya. Setelah selesai, ia hanya  berujar ringan “tuh kan bu, Miko juga bilang apa, Miko bisa.” Baiklah, untuk ukuran anak yang setahu saya sangat pemalu dan jarang mau tampil di depan public, apalagi sendirian, kali ini saya lihat rasa percaya diri yang begitu besar yang terpancar indah dari matanya.
Dulu, saya tidak memiliki kreativitas menulis seperti anak-anak ini, karena saya dulu tidak diajarkan bagaimana cara menulis, selain menuliskan catatan pribadi untuk dibaca sendiri J atau kadang-kadang tulisan pendek untuk majalah dinding. Seingat saya, tema tulisan yang selalu diulang-ulang saat disuruh mengarang di sekolah dulu adalah Liburan di Rumah Nenek. Padahal, saya tak pernah liburan ke rumah nenek karena saya mengunjunginya setiap hari mengingat rumahnya yang berdekatan. Sayang memang pelajaran menulis dan membaca di sekolah-sekolah di negri kita hanya nempel di pelajaran bahasa Indonesia yang porsinya pun tak seberapa. Padahal, menulis (writing) dan membaca (reading) adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki anak-anak sehingga mereka terlatih untuk berpikir kritis atau critical thinking sejak dini. Kedua skill ini juga berperan penting menumbuhkan ruang imajinasi bagi tergalinya kreativitas mereka. Bukankah, para pemimpin negeri ini gagal mengatasi berbagai persoalan nasional karena mereka tidak bisa mengambil keputusan-keputusan yang kreatif. Berpikir kreatif sangatlah penting, terutama saat-saat situasi kritis, karena dalam cara berpikir kreatif seseorang akan berpikir out of the box, atau pikiran-pikiran yang bersifat non-konvensional. Upsss...issue kita jadi melebar rupanya.... J  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini