AT-TAWAF: DARI CIANJURAN KE POP SUNDA RELIGIUS

Oleh Neneng Yanti Kh.

Di tengah kehidupan budaya masyarakat kontemporer, seperti dikemukakan Yasraf A.Piliang (2007), kesenian tradisi dihadapkan pada kondisi yang paradoks. Di satu sisi, untuk bisa bertahan hidup seni tradisi membutuhkan daya-tarik dan pesona, berupa inovasi-inovasi kreatif yang bersumber dari tradisi itu sendiri. Di lain pihak, ada kebutuhan untuk tetap mempertahankan tradisi itu seutuhnya, karena melakukan perubahan dan inovasi berarti menghilangkan tradisi itu sendiri.
Pada kondisi itu, sejumlah seniman Sunda yang bergelut dengan kesenian tradisi telah berhasil mengisi ruang-ruang ekspresi dalam budaya posmodern dengan melahirkan kreasi dam konsep baru dalam menyajikan kesenian tradisi. Proses adaptasi dan kemauan mereka untuk belajar membawa kalangan ini pada pergumulan yang panjang dan intens antara kesenian tradisi dengan hal-hal baru di sekelilingnya sehingga memungkinkan terjadinya perubahan paradigma, pergeseran cita-rasa, dan peningkatan wawasan berkesenian. Pergaulan yang luas dari kalangan tradisi ini juga telah meningkatkan apresiasi dan cita-rasa estetis mereka pada capaian yang lebih kompleks. 
Transformasi musik tradisi ke dalam bentuk baru dalam kesenian Sunda, diantaranya muncul dalam bentuk pop Sunda. Sebuah genre musik yang memadukan elemen-elemen tradisi musik Sunda dengan musik pop Barat yang telah muncul sejak 1950-an. Keberadaan pop Sunda yang diterima begitu luas oleh masyarakat pada tahun 1980-an dan 1990-an menjadi semacam apa yang disebut Theodor Adorno (1941) bahwa musik pop beroperasi seperti ‘semen sosial’. ‘Fungsi sosial-psikologis’nya adalah meraih penyesuaian fisik dengan mekanisme kehidupan saat ini dalam diri konsumen musik pop, khususnya di kalangan masyarakat Sunda.

Sebuah Tansformasi
Keberadaan kelompok musik pop Sunda “Ath-Thawaf” yang dibidani oleh seniman Cianjuran H.M. Yusuf Wiradiredja atau dikenal dengan Pak Iyus, sejak 2001, lahir dari sebuah proses berkesenian yang panjang, yang telah melampaui beragam ruang, pengalaman, dan waktu. Musik yang secara khusus mengusung tema-tema religius dalam lagu-lagunya itu berproses sejak Pak Iyus menekuni tembang Sunda Cianjuran yang telah dilakoninya sejak kecil. Dengan kata lain, “Ath-Thawaf” lahir dari proses tranformasi berkesenian pak Iyus yang sejak lama menggeluti dunia tembang Sunda Cianjuran.
Kelekatan Pak Iyus dengan tembang Sunda Cianjuran dan membawanya pada pop Sunda religius “Ath-Thawaf” menyebabkan munculnya ‘hibridisasi’ seni yang kuat antara keduanya hingga menjadikannya sesuatu yang khas. Perpaduan tradisi-modern, Timur-Barat, religius-pop, sakral-profan, secara dominan menjadi spirit bermusik kelompok ini. Hal itu diantaranya tampak pada pilihan bentuk dan konsep penyajian musik, aransemen serta tema-tema lagu.
Selain pilihan tema lagu yang diinspirasi spirit tembang Sunda Cianjuran, beberapa ornamentasi dalam sejumlah lagu juga masih terdapat nuansa tembang Sunda. Di samping itu, pendekatan dari sisi laras pun memiliki kedekatan dengan laras sorog dalam tembang Sunda. Maka, secara intertektualitas antara tembang Sunda Cianjuran dengan pop Sunda Ath-Thawaf memiliki makna pembacaan yang saling berhubungan satu sama lain dalam banyak aspek, meskipun keduanya merupakan jenis musik yang berbeda.
Karakterisrik tembang Sunda Cianjuran sendiri sangat kontemplatif karena lahir dari figur intelektual (kalangan menak). Sebagai produk intelektual, tembang Sunda Cianjuran sangat berbeda karakteristiknya dengan kesenian tradisi yang lahir dari kalangan masyarakat umum. Hal itu secara menonjol tampak pada nilai-nilai musikalitas serta nilai-nilai filosofisnya. Hal itulah, menurut Iyus Wiradiredja, yang menjadikan nilai-nilai dalam tembang Sunda Cianjuran tetap aktual dan relevan hingga kini untuk dikontekstualkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Kontekstualisasi tembang Sunda yang dianggap memiliki nilai-nilai spiritual sekaligus nilai-nilai filosofis itulah yang menjadi paradigma berfikir dalam berkreativitas yang melahirkan ‘At-Tawaf’. Menyampaikan tema-tema komtemplatif nan rumit dengan bahasa yang populis menjadi pilihan yang diyakini akan menjadikan tembang Sunda sekaligus makna yang ingin disampaikan dapat lebih mudah diterima masyarakat. 
Seiring dengan perkembangan kebudayaan pop yang begitu dasyat di era globalisasi ini, termasuk di dalamnya musik pop, Iyus memerlukan media ekspresi baru yang akan membuat tembang Sunda dapat diterima dan mudah diapresiasi oleh masyarakat kebanyakan. Dalam konteks kebudayaan pop yang begitu besar ditopang oleh industri kapitalis, maka diperlukan cara-cara dan bentuk-bentuk ekspresi baru agar nilai-nilai yang terkandung pada tembang Sunda tadi tetap aktual dan diminati.

‘Melawan’ Budaya Pop
Meskipun Ath-Thawaf sendiri bergenre musik pop, dalam hal ini pop Sunda, akan tetapi corak ‘religius’ yang melekat padanya menjadikan musik ini berbeda dari jenis musik pop Sunda pada umumnya. Pilihan bentuk dan konsep penyajian yang mirip orkestra yang menggabungkan beragam jenis alat musik, baik tradisional maupun modern, mulai dari gitar, kacapi, kendang, jimbe, gembyung, suling, dan lain-lain untuk menghasilkan harmoni musik baru serta diiringi sejenis ‘paduan suara’ juga merupakan pilihan kreatif yang tidak banyak ditemukan dalam kesenian pop Sunda.
Tentu saja, tema religius pada pop Sunda bukan hal baru. Setidaknya Bimbo dan Doel Sumbang telah melahirkan karya-karya dengan tema religius yang sangat digemari masyarakat. Akan tetapi, pilihan untuk menjadikan tema religius sebagai trademark dan secara konsisten diusung dalam bermusik adalah satu-satunya pilihan kelompok Ath-thawaf. Hal inilah yang menjadikan pilihan pada genre musik pop Sunda dengan corak religius yang diusung kelompok Ath-Thawaf menjadikannya pada posisi yang khas karena corak demikian memiliki komunitas yang terbatas daripada jenis pop Sunda lainnya. Secara sadar, ia dibentuk sebagai jenis kesenian Sunda alternatif untuk ‘melawan’ musik pop dominan sekaligus kapitalisme yang melakukan komodifikasi atas berbagai hal dalam kebudayaan itu sendiri. Dalam kondisi ini, Ath-Thawaf hadir untuk melawan musik pop mainstream tetapi sekaligus berada di dalamnya. Kelompok ini melakukan perlawanan budaya dengan cara-cara mengambil tempat dari budaya dominan tersebut. Dalam konsep poskolonial, kondisi demikian dinamakan mimikri, yakni peniruan yang tidak sepenuhnya yang dimaksudkan untuk mengejek atau melawan. Mimikri sendiri selalu bersifat ambivalen atau ganda. Kemenduaan itu selalu muncul pada budaya poskolonial.
Di dalam Ath-Thawaf, terdapat kombinasi antara nilai-nilai moral/agama dengan musik pop. Posisi demikian menjadikan Ath-thawaf dalam posisi melawan arus mainstream pop Sunda tetapi sekaligus berada di dalamnya. Pilihan cara ungkap melalui simbol-simbol ‘bahasa agama’ menjadikannya memiliki karakter ‘umum sekaligus khusus’. Ath-Thawaf ingin menyuarakan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, dan kecintaan dengan alam dengan caranya sendiri. Mengajak sesama untuk berbuat baik dengan cara-cara yang menghibur dan dapat dinikmati. Mengajak solat, berzakat, mencintai alam, bersilaturahmi dengan sesama dengan bahasa yang sederhana dalam alunan musik yang easy listening.


(Penulis, staf pengajar pada Jurusan Karawitan STSI Bandung)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini