MIMIKU INSPIRASIKU


Dia, seorang ibu yang menemani hari-hari di masa remajaku. Pengganti ibuku yang berada nun jauh di sana. Mendampingiku melewati masa-masa yang penuh gejolak dan tantangan. Bersama-sama dengan puluhan, bahkan ratusan teman untuk ditempa dalam sebuah perguruan, bernama Pesantren.

Garis tegas di wajahnya berbaur cahaya kelembutan. Sorot matanya yang tajam membiaskan warna pelangi di hati kami. Suaranya yang keras namun penuh sayang adalah pengingat saat kami alpa dan berjibaku dalam pertarungan identitas seorang santri putri. Teriakan-teriakannya saat menegur kami bak pecut yang membuat kami harus selalu waspada, disiplin, dan terjaga.
Dia, selalu menggumamkan doa-doa seraya meniup ubun-ubun kami dengan penuh kelembutan setiap kali kami memohon didoakan dan menyalaminya penuh takzim. Dia, seorang perempuan bersahaja, tangguh, sekaligus sederhana. Dialah Ibu Nyai kami saat kami menjadi santri remaja, yang biasa kami panggil Mimi (sebuah panggilan khas pada orang tua di daerah Cirebon).
***
Kuteringat sebuah peristiwa, ketika aku pergi tanpa pamit pada Mimi maupun orang-orang yang seharusnya kupamiti. Aku pergi meninggalkan pondok selama 3 hari atas ajakan seorang teman yang tengah didera kegelisahan yang hebat. Aku mengikutinya karena aku ingin menemani sahabatku itu. Aku tak sempat pamit karena kami pergi begitu saja di tengah jam sekolah.
Ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang tak biasa. Sebuah perjalanan spiritual yang aneh yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Sebuah perjalanan untuk mencari setetes embun yang mampu mengobati dahaga yang membakar hati kami. Sebuah perjalanan seorang pencari yang ingin menemukan makna hidupnya.
Kami mendatangi sebuah kampung yang asing, di pelosok yang jauh, tempat seorang kyai yang kemudian dibantu santrinya mengantarkan kami ke sebuah tempat yang juga asing buatku. Kami duduk di antara wajah orang-orang yang putus asa sekaligus pasrah. Berada di antara orang-orang yang menginginkan pemecahan atas berbagai persoalan hidup yang menghimpitnya. Orang-orang yang menaruh harapan di setiap tatapan matanya. Orang-orang yang berbalut keyakinannya sendiri untuk mendapatkan apa yang dicarinya di tempat itu. Tempat yang semakin membenamkan kami pada kepasrahan atas segala gejolak yang kami rasakan.

Kujalani ritual yang tak biasa, melafalkan sejumlah doa sebanyak ribuan kali, memakan nasi putih tanpa lauk dengan hanya segelas air putih. Kami memasuki sebuah makam suci di tengah malam gelap gulita yang hanya diterangi temaram lampu lilin. Di tengah hembusan angin malam yang membangunkan bulu kuduk di tempat yang dianggap keramat itu. Kami melangkah dengan sangat hati-hati. Kemudian duduk bersimpuh bersama beberapa orang. Turut melafalkan doa-doa. Kurasakan ketenangan yang aneh. Biusan angin beraroma kemenyan yang dibakar. Meski tak asing dengan baunya, tetap kurasakan sensasi yang aneh. Doa-doa terus dilafalkan. Ayat-ayat terus dibacakan. Segalanya penuh pengharapan. Kegelisahan diam-diam menyelinap pergi bersama kepulan wangi asap itu. Aku lupa perasaanku saat itu. Sebuah perasaan asing yang pasti. Kami melakukannya selama berjam-jam hingga malam teramat larut. Waktu pun terasa amat panjang.
Pada siang harinya, kami masih melakukan ritual yang sama, berpuasa, berdoa, mengunjungi tempat-tempat keramat lainnya. Membawaku pada pengalaman-pengalaman yang asing.

Saat menemani sahabatku ini, aku sendiri tengah didera kegelisahan yang aku tak mengerti. Mungkin semacam sebuah beban yang amat berat terpikul, sebuah tanggung jawab seorang gadis belia di tengah situasi yang tidak mudah. Ketika aku dipaksa menerima dan memaknai kedewasaan ketika buah belum lagi matang tanpa pendampingan orang tua. Kami berbagi kegelisahan dan kami ingin menemukan ketenangan. Kami ingin menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berlonjakan di hati kami. Barangkali itulah yang kami lakukan saat itu. Sebuah perjalanan aneh yang tidak biasa. Tapi, aku tetap bersyukur mengalami sebuah peristiwa yang bisa membuatku memahami banyak makna. Bahwa hidup punya banyak sisi. Di setiap sisi itu, kita tetap layak berpanjat syukur.
***
Saat aku pulang ke pangkuan Mimi, Mimi tidak marah, meskipun pergi tanpa ijin adalah sebuah pelanggaran besar yang layak diberikan hukuman. Mimi yang bijak mungkin mampu membaca kegelisahan di sorot mataku. Mimi mungkin bisa memahami arti sebuah percarian yang baru saja kulewati. Mimi mengerti bahwa jiwa-jiwa remaja kadang berada dalam sebuah pertempuran yang keras, bahkan sangat keras. Dan untuk memenangkan pertempuran itu, terkadang kita cukup menundukkan kepala, pasrah dalam sujud-sujud malam yang panjang. Mimi mengerti itu. Jiwa kami yang berada di ambang keputusasaan, dalam kegelisahan tak bertepi, membutuhkan sebuah pelepasan jiwa yang melegakan. Kadang kami didera rindu yang amat sangat pada keluarga. Kadang kami dihantam badai konflik sesama teman yang juga adalah saudara seperjuangan. Kadang kami merasakan ujian yang berat atas nama kesederhanaan dan segala keterbatasan yang harus kami terima. Kadang kami harus memikul tanggungjawab besar memimpin diri sendiri dan teman-teman lainnya dalam sebuah komunitas besar dengan segala macam karakter orang. Tak jarang kami dibenci teman-teman sendiri, tapi rasa sayang dan persaudaraan lebih melekati dan menyelimuti kebersamaan kami. Di lain waktu, kadang dunia begitu pahit kami cecap.
Setelah melalui masa itu, aku terus mempelajari banyak hal, bagaimana memenangkan pertempuran demi pertempuran, terutama dengan diri sendiri.
Di banyak kesempatan, aku kalah, terkoyak, berdarah, tapi aku bersyukur karena kemudian aku mampu bangkit, berdiri, berjalan, bahkan berlari ke arah jalan yang telah kupilih sendiri. Hari-hari bersama Mimi selama lebih dari 6 tahun di tempat yang sederhana itu sungguh mampu menopang jalanku di kemudian hari. Aku mampu berdiri tangguh, tak mudah menyerah, tak kenal lelah, menggapai setiap impian yang ingin kuraih.

Kudengar kabar dari seorang teman, dia tetap sehat di usianya yang lebih dari 100 tahun, meski suami dan dua anak laki-laki kebanggaannya telah lama pergi.
Mimi, selama hampir 7 tahun aku bersamamu, 17 tahun yang lalu. Kebersahajaanmu, kesederhanaanmu, keikhlasanmu dalam mengabdi akan terus terpatri di hati kami.  Semoga Allah selalu menjagamu...:)



Bandung, 7/11/2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini