FILM KARTUN ANAK "HATCHI"

Film kartun anak di televisi berjudul Hatchi mengisahkan Hatchi, seekor anak lebah madu yang tengah mencari ibunya. Ia tak pernah lelah terus berjalan untuk mencari sang ibu. Perjalanan yang dilaluinya tidak mudah dan banyak hambatan. Sebagai seekor anak lebah yang masih kecil, lemah, dan ringkih, Hatchi tidak jarang menghadapi hambatan yang begitu besar sehingga ia sendiri kadang tidak berdaya dan pasrah.
Namun, setiap kali ia berada dalam situasi terjepit dan tak berdaya itu, selalu ada satu hal yang mampu membuatnya kembali bangkit, yakni semangatnya untuk bertemu ibunya. Dalam situasi sulit itu, Hatchi selalu berkata, “Mama, tolonglah aku!”. Mamanya, yang entah berada di mana, selalu muncul dalam bentuk bayangan yang memberi Hatchi semangat untuk bangkit dan tidak menyerah. Dengan kekuatan dan semangat itulah Hatchi selalu berhasil melalui berbagai hambatan, sebesar apa pun itu. Harapannya untuk bertemu sang ibu membuatnya mampu bangkit melawan apa saja yang menghalanginya.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa televisi bukanlah sarana hiburan yang baik bagi anak-anak, khususnya anak balita. Berbagai dampak buruk diyakini akan lebih banyak berpengaruh pada mereka daripada dampak positif. Penyebabnya tak lain adalah berbagai sajian televisi, termasuk yang dikategorikan sebagai cerita anak berupa film kartun, tidak benar-benar aman untuk anak-anak. Meskipun secara jelas ditujukan untuk penonton anak-anak, tetap saja terdapat sejumlah adegan yang dianggap tidak cocok untuk anak-anak. Contohnya adalah adegan kekerasan yang selalu muncul di setiap film tersebut.
Akan tetapi, di era seperti sekarang ini, ketika televisi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari keluarga, banyak orangtua seperti dihadapkan pada buah simalakama. Mereka serba sulit untuk membebaskan sama sekali anak-anak dari tontonan televisi. Belum lagi bila kedua orangtua bekerja dan anak lebih banyak bersama pengasuh, mereka akan sangat sulit memantau atau memilah acara televisi tersebut.
Para psikolog berpendapat, dalam masa perkembangannya seorang anak memiliki kecenderungan meniru. Ia dapat menirukan apa saja yang dilihat di lingkungan sekitarnya, misalnya perilaku orangtua, saudara, pengasuh, atau anak-anak lain, termasuk tontonan di televisi. Kecenderungan meniru ini lama-kelamaan akan membentuk watak dan perilakunya. 


Masih mencari bentuk
Salah satu film kartun yang cukup menarik adalah film kartun Jepang berjudul Hatchi yang disebutkan di awal tulisan ini. Film kartun ini ditayangkan di televisi anak Spacetoon. Sebagai stasiun televisi baru dengan segmen khusus anak-anak, Spacetoon tampaknya masih mencari bentuk, khususnya dalam pemilihan acara atau film anak. Selain Hatchi, film kartun yang juga menarik untuk disimak adalah Little Bear (Beruang Kecil).
Dari segi perwatakan, Hatchi digambarkan sebagai sosok yang suka menolong dan pantang menyerah meskipun ia hanya seekor anak lebah madu yang kecil dan lemah. Secara umum ada beberapa pola yang terbangun dalam cerita kartun ini.
Pertama, Hatchi terbang mencari ibunya. Kedua, dalam perjalanan ia akan bertemu anak serangga lain yang menghadapi masalah. Ketiga, Hatchi biasanya berhadapan dengan dua pihak, yaitu anak serangga yang hendak ditolongnya dan serangga lain yang meremehkan kemampuannya menolong karena ia hanyalah anak lebah kecil. Keempat, ia tidak peduli dengan cemoohan itu. Ia tetap membantu semampunya walau harus menemukan jalan buntu.
Kelima, karena masalah yang dihadapi begitu besar, kadang Hatchi pun tak berdaya. Ia hanya menangis dan memohon bantuan kepada mamanya. Keenam, pada saat kritis, dengan semangat yang ia peroleh dari bayangan mamanya Hatchi mampu bangkit kembali. Ketujuh, semangat dan keberanian Hatchi bisa menjadi inspirasi serangga lain untuk tidak menyerah dalam situasi sesulit apa pun karena akan selalu ditemukan jalan keluar. Terakhir, setelah masalah yang dihadapi selesai, Hatchi pergi lagi melanjutkan perjalanan mencari ibunya. Dalam perjalanan itu Hatchi akan menghadapi masalah lain di tempat yang berbeda.
Sebagai film anak, suasana yang terbangun dalam kartun ini kadang cukup menyeramkan saat menggambarkan situasi yang kritis. Misalnya, saat Hatchi dan teman serangganya yang kecil hendak dimakan serangga yang lebih besar, perjuangan mereka untuk melepaskan diri dari serangga besar yang jahat itu sangat dramatis dan mencekam. 


Spirit ibu
Yang menarik dalam cerita Hatchi adalah adanya semangat keibuan (motherhood). Seperti telah diceritakan, berbagai penjalanan yang dilaluinya adalah dalam rangka mencari sang ibu yang terpisah. Di saat-saat kritis ia selalu mampu bangkit berkat spirit of motherhood. Ketika ia menghadapi kesulitan, keletihan, kesakitan, dan keputusasaan, ibunya selalu muncul sebagai spirit. Hatchi si anak lebah pun kembali bangkit.
Bayangan dan kerinduannya kepada sang ibu mampu mengalahkan berbagai derita yang dialaminya. Bahkan, ia mampu berbagi spirit itu kepada anak serangga lainnya yang menghadapi situasi yang sama. Spirit yang selalu menyertai Hatchi itu ialah keyakinannya untuk bertemu dengan sang ibu seperti yang tertulis dalam akhir lagu, Mama, suatu saat pasti bertemu.
Di tengah berbagai tayangan anak yang memprihatinkan, film kartun Hatchi ini menjadi salah satu yang inspiratif dalam menanamkan nilai-nilai positif kepada anak. Nilai-nilai kebaikan, khususnya spirit keibuan dan kasih sayangnya, senantiasa menjadi energi tak terhingga bagi anak-anak dalam mengarungi kehidupannya yang terkadang begitu keras. Begitu pula kepedulian Hatchi kepada sesama yang diwujudkan dalam bentuk keinginannya untuk selalu menolong siapa pun yang berada dalam kesulitan.
Selayaknyalah seorang ibu mampu menjadi spirit bagi anak-anaknya. Bukan sebaliknya, ketika seorang ibu begitu khawatir dengan masa depan anak-anaknya yang begitu keras dan berat, ia malah memperlakukan mereka dengan cara yang salah.
Pepatah lama “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah” merupakan ekspresi akan besarnya kasih sayang seorang ibu. Sayangnya, terkadang kita menemukan fenomena kasih sayang orangtua (ibu) yang begitu besar dimaknai dengan cara yang tidak tepat kepada anak. Misalnya, orangtua memanjakan anak atau sebaliknya anak menekan orangtua guna mengabulkan setiap keinginannya.
Apa pun kondisinya, yang terbaik adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Bukankah dalam ajaran Islam penghormatan kepada ibu begitu besar sehingga Nabi Muhammad harus menyebutnya tiga kali ketika sahabatnya bertanya, “Siapakah orang yang patut dihormati?” Nabi menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu.”  

Neneng Yanti Kh Dosen STSI Bandung.
Dimuat di Kompas Jabar, Jumat, 28 Desember 2007

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini