Perlawanan terhadap Dominasi Media Barat


Oleh NENENG YANTI Kh. 
MESKIPUN peristiwa mengerikan yang tengah terjadi di kawasan Teluk, yaitu invasi Amerika ke Irak bukanlah perang agama, melainkan imperialisme yang didasarkan pada kepentingan ekonomi-politik, kebanyakan orang selalu mengidentikkan Arab atau Timur Tengah dengan Islam. Akibatnya, seperti yang tampak dalam berbagai pemberitaan, solidaritas Islam muncul begitu kuat di berbagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, termasuk Indonesia.
Di sisi lain, fenomena menarik yang terjadi atas peristiwa invasi Amerika ini adalah munculnya solidaritas antiperang di seluruh dunia yang begitu menyeruak belakangan ini. Demo di seluruh dunia yang melampaui batas ras, suku bangsa, dan agama itu merupakan fenomena yang menunjukkan solidaritas kemanusiaan yang merupakan akumulasi dari rasa muak dan kebencian masyarakat dunia atas berbagai peristiwa kekerasan dan perang yang terus terjadi belakangan ini.
Tak kurang dari warga Amerika dan Inggris sendiri, dua negara yang menjadi pelopor utama perang, terus-menerus memprotes kebijakan pemerintahnya itu. Berbagai peristiwa kekerasan dan perang, seperti yang sebelumnya terjadi di Afganistan dan belahan dunia lainnya, selalu menimbulkan banyak korban di kalangan rakyat yang tak berdosa. Jerit tangis anak-anak, perempuan, dan orang tua yang umumnya selalu menjadi korban perang, seperti yang di antaranya diperlihatkan di televisi dan koran, akan sangat menyentuh rasa kemanusiaan siapa pun yang melihatnya.
Itulah setidaknya yang dapat kita simpulkan dari berbagai informasi media massa kita saat ini mengenai apa yang tengah terjadi dengan perang di Irak. Hal yang menunjukkan perbedaan besar dibandingkan beberapa puluh tahun lalu ketika terjadi peristiwa sejenis, khususnya dalam konflik Timur Tengah.
Tidak diragukan bahwa peran media massa menjadi sangat penting dalam perang sebagai alat propaganda dan meraih simpati bagi kedua belah pihak. Hal itu pula yang terjadi dengan perang Irak. Pejabat pemerintah dari kedua belah pihak secara bergantian muncul di televisi untuk menyampaikan kebenaran menurut versinya masing-masing.
Di sinilah terjadi perebutan opini melalui media, baik di pihak pemerintah AS dan Inggris maupun Irak. Dalam membicarakan peran media dalam peristiwa ini akan sangat relevan bila kita menguji kembali tesis Edward Said dalam bukunya Covering Islam.
Lebih dari dua puluh tahun lalu Edward Said melakukan riset dan pemetaan mendalam soal representasi media Barat atas Islam, dengan mengambil contoh kasus Iran. Buku tersebut mendapat sambutan yang sangat baik dari pembacanya.
Di sana, Said menujukkan bagaimana penggambaran umum media massa Barat dalam merepresentasikan Islam. Berbagai citra negatif melekat dalam penggambaran media Barat mengenai Islam. Islam identik dengan teroris. Sebaliknya, teroris identik dengan Arab dan Islam. Media Barat telah membentuk image tentang Islam yang identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme.
Meskipun berulang kali Amerika menepis anggapan banyak orang bahwa yang diperanginya bukanlah Islam melainkan terorisme, nyatanya image terorisme yang identik dengan Islam telah begitu melekat dalam benak orang Barat sejak puluhan tahun lalu. Setidaknya hal itulah yang ditunjukkan Said dalam Covering Islam yang telah ditulis sejak lebih dari dua dasawarsa lalu. Dan, nyatanya terus berlaku hingga kini.
Pencitraan media Barat terhadap Islam yang sangat tidak adil, penuh dengan kepentingan, dan sangat reduktif, "sebuah generalisasi yang tidak bisa diterima, tidak bertanggung jawab, dan tidak dapat diterapkan pada kelompok-kelompok agama, budaya, atau demografi lainnya di dunia," demikian ungkap Said dalam pengantar bukunya. Sesuatu yang setidaknya telah dilakukan sejak akhir abad ke-18.
Representasi tersebut menurut Said tidak lepas dari prespektif orientalisme yang telah begitu mengakar dalam wacana Barat. Dalam buku itu, Said mengamati berbagai media yang melakukan berbagai pemberitaan tentang Islam atau lebih khususnya konflik Timur Tengah, mulai dari artikel dan berita-berita surat kabar, tayangan dan wawancara televisi, radio, dan film.
Kritikan tajam atas representasi media yang telah dilakukan media massa Barat tersebut kini menemukan kembali relevansinya dalam peristiwa invasi Amerika ke Irak. Media massa Barat, khususnya media Amerika, yang juga menjadi objek kajian Said dalam Covering Islam, ternyata sampai hari ini masih menunjukkan kecenderungan yang sama dalam menyajikan berita mengenai konflik Timur Tengah, seperti yang terlihat dalam peristiwa perang Irak.
Seperti yang juga dikutip berbagai media di tanah air, televisi Barat umumnya menampilkan gambar-gambar yang memperlihatkan heroisme dan ketangguhan para tentara koalisi (AS dan Inggris), "tank yang melintasi gurun pasir, bom-bom yang dijatuhkan di atas Bagdad, tentara-tentara yang bercucuran keringat tetapi tetap tenang dan dengan pasti terus maju ke garis depan". Gambaran perang yang lebih banyak memperlihatkan pasir dan keringat daripada darah dan air mata.
Sedikit sekali mereka menayangkan gambar-gambar penduduk sipil yang menjadi korban perang atau tragedi kemanusiaan lain yang diakibatkan perang. Seolah hal itu tidak pernah terjadi.
**
Seperti yang disimpulkan Said bahwa pemberitaan dalam media (Barat dan khususnya Amerika) yang sangat beragam dengan jenis dan distribusinya itu sebenarnya memperlihatkan kecenderungan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif untuk mendukung satu sudut pandang tertentu dan beberapa representasi realitas di atas yang lainnya. Alasannya, kita tidak hidup dalam sebuah dunia yang alami; mereka adalah buatan, sebagai hasil kemauan manusia, sejarah, keadaan sosial, institusi, dan konvensi dari perofesi kita.
Sasaran-sasaran pers seperti objektivitas, faktualitas, pemberitaan yang realistis, dan akurasi adalah istilah-istilah yang sangat relatif. Mereka muncul bukan karena memang seharusnya ada, tetapi "bahwa para jurnalis, agensi-agensi berita, dan jaringan-jaringannya, secara sadar memutuskan hal-hal apa saja yang harus diliput, bagaimana hal tersebut akan diliput dan semacamnya" (2002:69--70). Menurutnya, meskipun terdapat sejumlah keragaman dan perbedaan dalam "berita", tetapi sesungguhnya apa yang dihasilkan media itu tidak terjadi begitu saja secara spontan dan "bebas", gambar-gambar, dan ide-ide tidak terlontar begitu saja dari realitas ke mata kita, kebenaran tidak langsung tersedia, kita tidak memliki keberagaman yang tak terbatas.
Media menjalankan satu kaidah dan konvensi tertentu untuk mencakup segala sesuatu dengan jelas dan mudah dipahami. Dengan demikian, audiens dikendalikan oleh seperangkat asumsi yang seragam tentang realitas, maka gambaran tentang Islam juga tampak cukup seragam dalam beberapa hal yang reduktif dan monokromatis.
Dalam hal ini Said melihat pentingnya menempatkan peristiwa dalam konteks keterkaitan antara pengetahun dan kekuasaan. Said melihat media pada akhirnya tak lebih dari lembaga yang melayani dan mempromosikan identitas perusahaan -- "Amerika", bahkan "Barat", meskipun mampu menampilkan segala bentuk sudut pandang.
Mereka semua memiliki konsensus sentral yang sama dalam benak mereka, bagaimana membentuk berita, memutuskan apa yang menjadi berita dan bagaimana ia bisa menjadi berita. Di lihat satu sisi, apa yang dinyatakan Said itu masih memperlihatkan relevansinya dalam pemberitaan mengenai perang Irak seperti dijelaskan di atas. Akan tetapi, dalam konteks kekinian banyak hal yang telah berubah yang menunjukkan adanya sudut pandang yang berbeda.
Kini, tayangan-tayangan atau pemberitaan yang sepihak dalam media Barat itu mendapat respon atau reaksi balik melalui tayangan-tanyangan atau pemberitaan yang justru memperlihatkan fakta sebaliknya. Contoh yang paling menonjol adalah jaringan televisi Aljazeera (Aljazirah) yang berpusat di Doha Qatar. Televisi yang kini amat populer dan juga disengiti oleh Amerika karena dianggap menjadi corong pemerintah Irak ini, telah menjadi alternatif baru bagi sumber berita tentang Irak di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kehebatan dan kegigihan tentara dan para pengikut Saddam, kegagalan-kegagalan tentara koalisi, sekaligus juga para korban perang yang menyedihkan, justru semakin banyak memenuhi halaman-halaman media kita. Mereka, termasuk media di Eropa mulai merasa bosan dengan pemberitaan dan gambar-gambar yang ditayangkan media Amerika yang dianggap banyak menyembunyikan fakta.
Inilah kelompok, yang oleh Said dikategorikan sebagai orang yang berada di luar arus utama yang dominan. Mereka ini disebutnya kelompok pengetahuan antitesis, yang memiliki pandangan yang berbeda dalam memandang sesuatu tetapi keberadaannya tidak begitu diperhitungkan dan muncul di permukaan.
Kelompok seperti ini tampaknya akan lebih memperlihatkan pluralitas pandangan dan akhirnya dapat menjadi satu upaya dalam meruntuhkan hegemoni Barat, yang kini tanda-tandanya sudah mulai tampak.
**
Berbeda dengan asumsi Said di atas, proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini pun dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima.
Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya. Kondisi demikian mengindikasikan perlunya melihat kembali konsep hegemoni sebagaimana diungkapkan Gramsci. Dalam konteks hegemonian ala Gramsci, media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. Lalu, benarkah media massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi? Tidak.
Media menjadi satu ruang mediasi tempat segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu. Hasil interaksi antarsimbol itu akan bersintesis dan menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum yang amat luas dan tidak melulu hegemonik. Seperti yang dicontohkan oleh AlJazirah.
Perubahan yang signifikan antara hubungan antara media dan masyarakat yang rumit dan tidak lagi searah ini, menunjukkan rumitnya proses yang tengah terjadi dalam globalisasi ini. Hegemoni yang telah lama ditanamkan oleh Barat tentang berbagai hal termasuk representasi di media, mulai mendapatkan bentuk perlawanannya.
Ketika arus komunikasi global menyajikan segalanya ke hadapan masyarakat global, yang sangat mungkin dikendalikan oleh satu pihak yaitu pemilik modal, mereka tidaklah menerima semuanya itu secara pasif, melainkan ada upaya-upaya untuk mempertanyakan dan melihat kembali setiap informasi yang diterima itu secara aktif.
Dari aliran informasi ini pula, kita dapat melihat ironi-ironi yang terjadi dengan negara adikuasa, Amerika, maupun sekutunya Inggris.
Negara besar seperti Amerika yang menyebut dirinya yang paling demokratis di dunia, nyatanya tidak berbeda dengan negara lainnya yang juga mempertimbangkan segala sesuatunya berdasarkan kepentinggannya sendiri dan mengabaikan fakta-fakta yang merugikan mereka. Negara yang dianggap memiliki toleransi dan kebebasan yang tinggi itu nyatanya tidak pernah beranjak dari paradigma lamanya dalam menghadapi musuh-musuhnya. Negara yang begitu mengagungkan hak asasi manusia itu nyatanya begitu bangga membantai ribuan manusia tak berdosa, baik di Afganistan maupun Irak sekarang. Negara dengan teknologi yang sangat canggih itu pun masih merasa perlu untuk menuduh pihak-pihak lain atas berbagai kesalahan dan kegagalan yang dilakukannya dalam perang Irak. Rusia, Iran, Suriah secara bergantian dituduh membantu Irak. Negara, seperti Amerika dan Inggris ini, nyata-nyata bangga dengan predikat imperialis yang disandangnya.
Sungguh suatu ironi yang amat menyedihkan di abad yang dianggap maju dan beradab ini.
Akan tetapi, kelihatannya perlawanan atas hegemoni masih akan terus berlanjut. Osama bin Laden, teroris nomor wahid bagi Amerika, dan kini Saddam Hussein, yang digambarkan sebagai diktator yang kejam dan otoriter, nyatanya telah menjadi ikon bagi perjuangan melawan hegemoni Barat, Amerika yang adikuasa itu khususnya. Barangkali imperialisme memang masih terus berlanjut dan panjang, tetapi perlawanan terhadapnya pun terus berlanjut. Demonstrasi kecanggihan teknologi perang Amerika dan sekutunya itu justru semakin membuat masyarakat dunia bersikap nyinyir dan mencibir. Bukankah yang kita butuhkan di abad ini adalah rasa aman dan damai?
Semoga media pun terus-menerus menyampaikan pesan perdamaian ini.***  

Penulis adalah staf peneliti pada Pusat Studi Kebudayaan UGM Yogyakarta.

PR, Rabu, 16 April 2003

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini