PENYELESAIAN KULTURAL ATAS DINAMIKA SOSIAL (RESENSI BUKU)
Judul : Women Womeni Lupus
Penulis : Faruk
Penerbit : Indonesia Tera
Cetakan : I, Agustus 2000
Tebal : xx + 225 halaman
Adakah solusi yang pasti untuk
mengatasi dinamika sosial dalam kehidupan kita? Yang pasti-pasti itu tak pernah
ada dalam kamus sosial. Realitas sosial tidaklah seperti tubuh yang dengan
segera bisa didiagnosa. Karena itu, pandangan atas berbagai fenomena sosial pun
tidak bisa hanya satu aspek dan satu arah. Selalu terbuka kemungkinan untuk
melihatnya dari aspek dan arah lain yang juga menghasilkan solusi penyelesaian
yang berbeda. Suatu konsep generalisasi, karenanya harus dihindari. Demikian
yang hendak ditegaskan Faruk melalui buku Women
Womeni Lupus ini.
Ada tiga persoalan yang diungkapnya, di bawah tema besar aspek kebudayaan dalam
dinamika sosial. Dengan gaya yang lugas dan cenderung sinis, Faruk berusaha
membongkar pandangan atas berbagai persoalan sosial yang cenderung mapan.
Buku ini terdiri dari lima belas
judul, dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Yang pertama, membicarakan berbagai
persoalan kebudayaan dalam bingkai yang dialektis. Bahwa realitas selalu
berjalan dalam hubungan oposisi biner. Di sini berlaku pertentangan antara
hidup vs mati, subjek vs objek, mesin vs hati, kultur vs natur (hlm.viii) dan
sebagainya. Misalnya, bagaimana kehidupan yang hedonis berjalan di satu pihak
dan tekanan kemiskinan terjadi di pihak lain. Secara subtansial keduanya
tidaklah berbeda. Perbedaan hanyalah terletak pada formalitas. Yang hedonis, tekanan
lebih berat pada cara mengkonsumsi dari apa yang tersedia secara berlebih,
sedangkan yang lain adalah terbatasnya ketersediaan substansi (h. 2-3).
Pada bagian ini, ia juga
mengemukakan pandangan tentang pornografi dalam kaitannya dengan seni. Ketika
banyak yang beranggapan bahwa fornografi sama sekali berbeda dengan seni,
Faruk berpendapat bahwa pornografi
adalah bagian dari fenomena kebudayaan yang tidak bisa dihindarkan. Ia mengutip
Foucault dalam The History of Sexuality
bahwa fornografi setidaknya dapat ditempatkan sebagai The Other dari kesusilaan, sesuatu yang dibutuhkan untuk membangun
dan mempertahankan kesusilaan (h.71-82).
Bagian kedua, mengupas persoalan
gender. Wacana gender agaknya sudah menjadi milik umum. Semua pihak merasa
berkepentingan dengannya. Pemahaman atas kesadaran gender seakan menjadi
niscaya. Seperti penulis buku ini, yang semula menganggap isu gender
mengada-ada, akhirnya ikut ‘terseret’ untuk melakukan penelaahan. Faruk melihat
persoalan gender tidak lebih sebagai fenomena yang ironi dan hipokrit.
Pandangan yang sangat berbeda dengan sorotan kalangan feminis umumnya. Misalnya
dalam tulisan berjudul Women Womeni
Lupus. Ia menuturkan fenomena di kalangan perempuan yang menjadi objek dari
studi gender, telah memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Seperti
persoalan poligami yang sangat ditentang oleh para feminis. Faruk melihat bahwa
di antara kaum perempuan sendiri terjadi pertarungan untuk memperebutkan posisi sebagai objek dari laki-laki dan bukan
sebagai subjek. Faruk mengangkat kasus dua orang perempuan yang dimadu saling
bertarung untuk mendapatkan posisi sebagai istri yang paling mendapat tempat di
samping suaminya. Selain itu, menurutnya tidak sedikit perempuan yang secara
sadar merebut laki-laki yang telah beristri. Kasus poligami mungkin bisa
mengalami pengurangan. Tetapi pertarungan
antarperempuan atau women womeni
lupus itu akan terus berlangsung
selama struktur gender masih timpang dan faktor-faktor ketimpangan itu masih
kuat dan kompleks (hlm.93).
Bahkan
menurutnya, Kartini sendiri, yang disebutnya sebagai pendekar atau nenek moyang
para feminis di Indonesia, telah secara sadar memilih untuk menjadi istri
keempat dari seorang Bupati, daripada melanjutkan studi ke Belanda yang
ditawarkan kepadanya. Sebab dengan menikah, bagi Kartini, akan membuatnya lebih
mudah mewujudkan cita-citanya, daripada pergi ke Belanda yang hanya akan
membuatnya menjadi perawan tua (hlm.110-111). Di sinilah terjadi pertarungan
antara idealisme dengan realitas sosial yang dihadapi Kartini saat itu. Maka
bagi Faruk, perempuan lebih baik tetap pada kondisi sebelumnya; tentram,
tenang, nyaman, abadi, spiritul. Tidak harus memaksakan diri memasuki dunia
laki-laki dengan menjadi ‘laki-laki’. Dunia yang penuh bahaya. Sebab dengan
pemaksaan itu perempuan akan semakin banyak yang menjadi bagian dan korban
kekerasan. Menurutnya, tetap diperlukan adanya dua dunia, dalam pengertian
sebagai fungsi bukan subtansi, kehadiran sekaligus dunia laki-laki dan dunia
perempuan.
Di bagian akhir, dijelaskan mengenai
realitas keindonesian menyangkut persoalan sosial politik Indonesia Baru. Faruk
cukup pesimis dengan masa depan Indonesia yang lebih baik, karena kuatnya
sistem yang telah melembaga dalam negara ini selama 32 tahun. Ia prihatin
dengan globalisasi sosial dan kultural yang cenderung meniadakan subyek,
mengambangkan realitas yang sebenarnya. Kehidupan yang tergulung menjadi sebuah
desa global dan melahirkan masyarakat hyperreal.
Untuk itu, Faruk merekomendasikan agar mulai diperhatikan adanya hal-hal kecil,
kejadian-kejadian sederhana yang menjadi realitas sebenarnya dari fenomena
sosial dan kultural.
Untuk ketiga persoalan di atas, ia
menawarkan penyelesaian kultural sebagai solusi. Sesuatu yang akan membutuhkan
waktu lama yang tidak semua bisa bersabar melewati prosesnya. Namun hal itu
menjadi alternatif damai untuk lepas dari himpitan krisis, di antara sedikit
pilihan yang kita miliki. Tentu jika lebih banyak di antara kita yang memang
berniat keluar dari krisis dan bersungguh-sungguh menuju ‘Indonesia Baru’.
Buku ini menjadi alternatif menarik
sebagai second opinion yang
mengkritisi asumsi-asumsi umum terhadap persoalan budaya dalam dinamika sosial.
Bagi yang mendambakan munculnya kekuatan lokal-alami dalam menyikapi dinamika
sosial, buku ini manawarkan solusi yang layak disimak.
(Neneng Yanti Kh., peminat kajian
sastra-budaya, tinggal di Yogyakarta)
Komentar
Posting Komentar