Kartini dan Spirit Pembebasan
Kartini dan Spirit Pembebasan |
Sabtu, 21 April 2012 09:42 |
Fenomena perayaan Kartini setiap tanggal 21 April, menjadi fenomena yang cukup semarak di berbagai tempat di tanah air. Berbagai kegiatan menyangkut hal itu pun digelar, sejak murid taman kanak-kanak hingga masyarakat umum. Mengenalkan sosok Kartini sejak kanak-kanak tentu sangat baik untuk mengenalkan kepada mereka tokoh-tokoh yang memberi inspirasi bagi kemajuan perempuan di Indonesia. Sayangnya, kita masih menempatkan Kartini sebagai mitos daripada sosok perempuan muda yang menuangkan kegelisahan-kegelisahannya atas berbagai hal melalui tulisan. Kita lebih sering memperingatinya secara simbolis bahkan artifisial. Anak-anak didandani kebaya plus sanggul dan make-upnya, ibu-ibu sibuk lomba memasak dan kaum remaja begitu antusias dalam berbagai ajang kontes kecantikan. Sebuah peran dan ajang yang justru berhubungan dengan domestifikasi perempuan. Sebuah paradoks yang justru berbeda dengan yang dicita-citakan Kartini. Anak-anak itu hanya diperkenalkan pada kebesaran mitos Kartini beserta kebayanya, pada sebait lagu yang memuliakannya, daripada pemikiran, kegelisahan, dan cita-citanya.
Berjuang dengan Tulisan
Apa jejak yang paling penting untuk diingat dari seorang Kartini? Tentu saja, gagasan-gagasan yang ia tuangkan dalam tulisan-tulisannya. Menulis telah menjadi pilihan Kartini sebagai alat perjuangan sejak ia masih sangat belia. Di tengah sulitnya pilihan yang bisa dilakukan seorang perempuan ketika itu, Kartini memilih pena sebagai alat perjuangan. Ia sadar betul bagaimana tulisan memiliki kekuatan yang luar biasa bagi sebuah perubahan meski butuh waktu lama untuk itu. Ia kerap tak mendapat restu sang Ayah ketika mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakatnya melalui tulisan-tulisan yang dipublikasikan.
Pram mencatat, berbagai talenta yang luar biasa pada diri gadis Kartini itu terekam dalam tulisannya: seorang pembatik, pelukis, dan penulis, disamping kegemarannya pada berbagai jenis kesenian. Akan tetapi, menjadi penulis adalah cita-cita yang telah dipilihnya. Kegemarannya membaca, ketekunannya belajar, kemahirannya berbahasa serta ketajaman intuisinya dalam memahami berbagai fenomena di sekelilingnya membawa Kartini muda pada sejumlah tulisan yang menarik, baik dalam bentuk surat, catatan harian, puisi maupun prosa, yang kemudian melambungkan namanya.
Door Duisternis tot Licht yang diterbitkan beberapa tahun setelah wafatnya oleh Mr. J.H. Abendanon, tepatnya tahun 1911, yang kemudian diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi karya monumental yang membuat nama Kartini terus dikenang. Tidak hanya di Hindia Belanda tetapi juga di dunia internasional dengan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Inggris, Perancis, Rusia, dan Arab. Bahkan, menurut catatan Pram, tulisan Kartini itu turut menginspirasi emansipasi wanita di Syiria melalui terjemahan seorang gadis Syiria bernama Aleyech Thouk dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Arab yang mendapat antusiasme yang besar dari pembacanya.
Spirit Pembebasan
Mengingat Kartini adalah mengingat spiritnya, yakni spirit pembebasan yang selalu menjadi cita-citanya. Bahkan, meski ia memiliki kehidupan yang lebih baik dari rakyat kebanyakan ia tak sungguh-sungguh dapat menikmati kebebasan (kemerdekaan) hidupnya. Dalam tatanan feodalisme yang menjadi keprihatinan Kartini, seorang perempuan tak akan pernah merasakan kebebasan itu. Sebagai anak, ia berada dalam penguasaan ayahnya (orang tua) dan ketika dewasa ia akan berada di bawah naungan suaminya. Hidup Kartini yang bak dalam penjara justru semakin mengasah kepekaan dan ketajaman rasanya akan penderitaan rakyat.
Bila Kartini telah memilih tulisan sebagai alat perjuangannya dalam berbagai situasi yang sulit, maka diharapkan para pemimpin kita, mampu menyejahterakan rakyatnya dengan kerja nyata tidak sekedar slogan-slogan dan janji-janji kosong saat kampanye. Menyelam lebih jauh kepada batin rakyat yang sudah lama lelah dan menderita akibat berbagai kebijakan yang tidak berpihak adalah sebuah sikap yang harus dikedepankan melalui keteladanan yang layak ditiru dari sosok Kartini. Bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi para pemimpin, pemangku kebijakan, terlebih yang merasa dirinya mewakili rakyat di negeri ini. Wallahu’alam.
Neneng Yanti KH, kandidat Ph.D di Monash University.
|
Dimuat di www.foria.co
Baru tahu kalau dia 'antropolog' juga (beberapa tahun yang lalu juga baru tahu bahwa dia berkait juga dengan batik ...). Haduh, kurang membaca nih ....
BalasHapusPak Sekti, mungkin krn dia lebih sering dirayakan scr simbolis melalui sanggul dan kebayanya daripada gagasan2nya,jadi tidak banyak yang tahu... kebetulan tulisan ini dibuat beberapa tahun yang lalu, jadi saya juga tahunya belum lama, hehe...
BalasHapusmakasih ya sudah mampir :)