Indo(nesia) dalam Roman ”Sunda Perlawanan” (2-Habis)


Oleh NENENG YANTI K.H.
KOMPLEKSITAS kondisi pascakolonial dalam SR, diperlihatkan dalam bentuk kompleksnya relasi antara penjajah dan terjajah, serta masalah hibriditas pada figur resistensi. Relasi Barat dan Timur, Belanda dan pribumi, penjajah dan terjajah yang terbangun dalam roman ini tidak bersifat linier dan tidak memperlihatkan oposisi yang tetap. Faktanya menunjukkan adanya relasi yang kompleks dan plural. Memiliki banyak sudut pandang dan tedapat berbagai interaksi yang tidak sederhana.
Dalam roman ini, hubungan Barat dan Timur tidak semata-mata berupa dominasi seperti direpresentasikan oleh Steenhart terhadap Patimah. Akan tetapi, terjadi juga relasi setara dan akrab, seperti direpresentasikan Van der Goud dengan Titi. Di samping itu, oposisi antara figur resistensi dan objek yang dilawannya, tidak menunjukkan oposisi yang langsung antara pribumi dengan penjajah. Di sini, oposisi itu direpresentasikan melalui tokoh Siti Rayati (Indo/pribumi) dengan bupati (menak/pribumi) sebagai agen penjajah yang turut melanggengkan kolonialisme. Meskipun yang tampak di sini adalah pertentangan kelas, tetapi esensi relasi yang terbangun tetap dalam konteks penjajah-terjajah. Kondisi demikian mempertegas adanya relasi yang kompleks yang terbangun dalam roman ini.
Setidaknya ada tiga jenis relasi yang tergambar di sini, yaitu (1) antara Belanda (penjajah) dan pribumi, (2) pribumi dan pribumi (menak/penjajah), serta (3) pribumi dan Belanda (tidak bersikap penjajah). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa oposisi yang terbangun itu bukan dalam sudut pandang Barat-Timur, tetapi antara penjajah-terjajah. Dalam konteks ini, subjek kolonial bisa orang Barat atau pribumi sendiri dan sebaliknya. Kompleksnya relasi tersebut, mengindikasikan kompleksnya resistensi yang dilakukan pribumi terhadap kolonialisme dalam roman ini.
Selain adanya relasi yang tidak tunggal, kompleksitas juga tampak dalam hibriditas tokoh atau figur resistensi. Hibriditas tokoh itu meliputi rasial, kultural, dan pendidikan kolonial.
Dalam roman ini, ras yang menjadi ideologi Barat, telah digunakan untuk membentuk kekuatan ekslusi dan mengaburkan batas-batas rasial tersebut. Hal ini mengejawantah dalam tokoh Titi sebagai indo yang berpihak pada pribumi. Kenyataan tersebut menjadi dekonstruksi atas wacana Barat tentang paternalis yang menganggap garis darah dari pihak ayah lebih kuat dibanding ibu. Dalam kondisi ini, seorang indo pada umumnya memilih keeropaan dari pihak ayahnya. Dalam SR, Titi sebagai indo melakukan resistensi untuk membela pribumi yang lemah, tanpa mempersoalkan identitas rasialnya. Kondisi tersebut memperlihatkan kecenderungan si tokoh yang lebih dekat dengan sisi kepribumian dari pihak ibunya.
Novel-novel yang diterbitkan melalui surat kabar berhaluan keras pada tahun 1920-an, memperlihatkan kecenderungan yang sama. Selain SR, hal tersebut misalnya dapat dibandingkan dengan Matahariah karya Mas Marco. Kenyataan tersebut, memperlihatkan kecenderungan wacana tandingan dalam menanggapi wacana kolonial yang secara ketat menetapkan garis-garis rasial sebagai penentu utama identitas. Roman SR menjawabnya dengan pandangan berlawanan, yang justru mengaburkan batas-batas tersebut. Identitas seseorang tidak lagi ditentukan oleh batas garis rasialnya, tetapi pada ada tidaknya komitmen untuk memperjuangkan independensi dan menghilangkan ketertindasan manusia. Hal itu dijawab melalui figur Titi, yang ambigu dan kompleks.
Sementara itu, ideologi lain, seperti humanisme dan sosialisme, oleh kalangan elit pribumi--sebagaimana termanifestasikan dalam tokoh Titi dan Jurnalis--, dalam roman ini dijadikan sebagai kekuatan inklusi, penyatuan, dan pembebasan. Sikap Titi yang tidak membeda-bedakan antara rakyat biasa dan menak yang ada dalam struktur feodalisme, menjadi bukti adanya kekuatan pembebasan tersebut. Padahal, di pihak lain, ia sendiri tumbuh dan berkembang dalam lingkungan menak. Ia mendapat julukan Gan (kependekan dari juragan) sehingga ia dipanggil Gan Titi. Keberadaan Titi sebagai bagian dari kehidupan menak membuatnya memahami keburukkan dan penyalahgunaan kekuasaan. Berpijak dari pengetahuan dan pengalamannya sebagai bagian dari keluarga menak itulah, ia menentang dan melawan kehidupan menak. Hal tersebut memperlihatkan adanya perlawanan "ke dalam" oleh figur resistensi.
Figur Titi juga menandai identitas nasional yang didefinisikan melalui batas-batas yang kabur, disebabkan adanya fusi kultural, yaitu Belanda dan pribumi. Titi lebih mentransformasikan dirinya ke dalam identitas "nasional". Hal itu bisa dilihat ketika ia berusaha memahami pengetahuan Eropa, seraya merespon fenomena dekolonisasi tanpa mempersoalkan status indonya. Pada mulanya, ia ditempatkan sebagai "yang lain", yaitu ketika ia "dibuang" oleh ibunya sendiri sebagai anak yang tak diinginkan. Pada akhir roman, keindoan digabungkan ke dalam identitas Indonesia (pribumi) yang seolah-olah menjadi identitas yang satu, tetapi sesungguhnya dikarakterisasikan oleh heterogenitas dan hibriditasnya. Identitas kepribumian tersebut ditunjukkan lewat resistensi terhadap kolonialisme dengan menyerang bupati sebagai agen kolonial. Tujuannya adalah untuk membebaskan rakyat kecil dari penindasan.
Di samping hal di atas, hibriditas Titi juga dapat dilacak pada pendidikannya yang telah menciptakan dualitas pada dirinya. Pada waktu yang sama, sebagaimana ia tertarik dengan dunia yang dibukakan oleh para guru Belandanya. Ia juga mengikatkan diri pada akar-akar tradisional melalui buku-buku babad. Sikap ambiguitasnya terhadap latar etniknya itu, memberi kontribusi pada marginalisasi dan pergeseran dalam dirinya. Sebagian besar isi roman ini memperlihatkan afiliasinya yang goyah dengan kebudayaan pribuminya. Proyek modernismenya disimbolkan melalui ambiguitas linguistik dan pergaulannya seperti telah disinggung di atas.
Dalam hal pendidikan, roman ini memandang sistem pendidikan kolonial Belanda secara positif, melalui pendidikan yang dijalani si tokoh sejak ia duduk di Frobelschool dan Eerste Europeesche School Sukabumi, HBS Semarang, dan Sekolah Guru di Betawi. Semuanya mengindikasikan pengakuan atas otoritas pengetahuan Barat. Hal tersebut diperkuat lagi dengan bimbingan Van der Goud selama Titi di Betawi. Perkembangan pendidikan Titi ini, dalam istilah Memmi, merupakan pendidikan kolonial yang diibaratkan sebagai pedang bermata ganda. Di satu pihak, pendidikan itu membebaskan pribumi dari buta huruf, tetapi di pihak lain "menciptakan dualitas permanen dalam dirinya" karena apa yang dipelajari dan diingatnya bukanlah soal pribumi.
Sebagai "pribumi terpelajar", sikap Titi juga menjadi ancaman potensial bagi stabilitas rezim kolonial, dalam hal ini kaum menak yang merasa kepentingannya diusik dan dirugikan. Hal yang membuat ayah Titi (Bupati Sukabumi) menentang perkawinan Titi dengan Jurnalis. Ia menganggap pekerjaan jurnalis sebagai representasi orang dengan pekerjaan yang paling hina, sebagai "tukang membongkar dan mengorek-ngorek kesalahan menak" (SR III, hlm. 10).
Resistensi Titi terhadap kolonialisme melalui keterlibatannya dalam pergerakan ataupun jurnalistik membuahkan pergeseran, pengasingan, dan perkembangan rasa hibriditasnya. Pertentangan Titi dengan ayah angkatnya dan penolakan Titi untuk menjadi bagian keluarga menak merupakan bentuk pergeseran dan pengasingan yang menjadikannya terasing dari orang-orang dan lingkungan yang membesarkan dan mencintainya. Pengasingan tersebut membawa Titi pada pencarian tempat untuk mendedikasikan dirinya. Dalam pencarian itu, akhirnya tempat yang cocok bagi dirinya ditemukan dalam kehidupan di luar tatanan menak yang telah membesarkannya. Ia menemukan tempat itu dengan hidup bersama tokoh Jurnalis yang menjadi suaminya.
Namun, persoalan penting dalam roman ini adalah menyangkut identitas Indonesia atau nasionalisme yang disimbolkan melalui figur Titi. Proyeksi apakah yang dapat dibuat dari hibriditas dan marginalisasinya? Dalam kasus ini, hibriditas Titi dapat dipandang sebagai metafora sinkretisitas bangsa Indonesia. Titi --yang hibrid dalam gabungan darah dan kebudayaan-- belajar dari guru-gurunya yang menolak nilai-nilai feodal Jawa/Sunda, tetapi tidak menolak kebudayaan pribumi seluruhnya (SR II, hlm. 10).
Marginalisasi atas diri Titi digambarkan melalui proyeksi dirinya sebagai "pribumi terpelajar" yang menolak nilai-nilai menak. Posisi yang sebelumnya marjinal itu, menjadi "penggerak utama" munculnya resistensi terhadap feodalisme dan kolonialisme. Hibriditas Titi lahir dari percampuran darah ataupun afiliasi yang stabil dengan nilai-nilai tradisional dan "guru" Eropanya. Dari "jurang psikologis antarkebudayaan" yang terjadi pada Titi, ia masih menemukan dirinya menolak status istimewa menak dan mendukung nilai-nilai ideal: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan. Ia menggunakan "pakaian" guru-guru Belandanya untuk mematahkan belenggu kolonialisme. Ia menulis dalam bahasa Belanda untuk kemudian diterjemahkan oleh tunangan Jurnalisnya dan memuatnya di surat kabar.
Hal ini seolah-olah menunjukkan kombinasi yang ideal bagi satu bentuk nasionalisme yang memperjuangkan dan membela rakyat. Titi memiliki hibriditas kultural, menciptakan dualitas dalam dirinya sekaligus mengaburkan batas-batas kultural dan rasial. Hal tersebut membawanya pada satu identitas baru dalam kerangka nasionalisme, yaitu sebuah identitas yang tidak sempit, berwawasan luas, dan universal.
Dari kajian terhadap roman SR seperti dipaparkan di atas, terlihat bahwa resistensi terhadap kolonialisme yang dilakukan roman ini, tidak utuh, tidak tunggal, dan tidak sederhana. Indo --dalam pengertian luas-- atau lebih tepatnya hibriditas, berperan besar dalam memunculkan benih-benih nasionalisme di tanah air. Maka, kehadiran dan perjuangan kaum indo seperti yang dilakukan Douwes Deker (Setiabudi) melalui Indisch Partij-nya merupakan sesuatu yang harus dihargai keberadaannya dalam konteks perjuangan bangsa.
Sudah saatnya untuk tidak melulu berbicara soal otentisitas lokal dalam pengertian sempit. Karena faktanya, identitas kita lebih kompleks dari yang dibayangkan. Tanpa persentuhan dengan berbagai kebudayaan lain tidak akan pernah muncul perubahan konstruktif, dalam proses mengimbangi perubahan zaman.***
Kamis, 26 September 2002
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0902/26/khazanah/lainnya5.htm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini