Indo(nesia) dalam Roman Sunda Perlawanan (1)


PR, Kamis, 19 September 2002
Oleh NENENG YANTI KH 
REAKSI keras orang Sunda atas penggalian liar situs Batutulis menyiratkan suatu perlawanan tegas 'daerah' kepada 'pusat'. Rupanya tradisi perlawanan itu tumbuh seiring dengan perkembangan jaman dan peristiwa yang melatarinya. Dalam sastra Sunda, semangat kritis terahadap pusat itu, antara lain ditampilkan oleh Moh. Sanoesi (1889--1967), seorang nasionalis dan digulis, dalam romannya Siti Rayati (SR). Roman ini diterbitkan antara tahun 1923-1927 oleh Dachlan-Bektie, sebuah penerbit swasta yang mengedarkan buku-buku radikal.
Sanoesi adalah aktivis politik. Ia seorang nasionalis yang bekerja sebagai jurnalis. Ia menulis di sejumlah surat kabar dan majalah di Bandung. Menjadi editor untuk koran Sora Merdika yang diterbitkan dalam bahasa Sunda dan Melayu, dan koran Matahari. Koran terakhir ini, oleh Yong Mun Cheong (1973), digambarkan sebagai surat kabar kaum ekstrimis yang menyerang para bupati dan penguasa Belanda. Dalam Matahari, Sanoesi menjadi direkturnya. Surat kabar yang terbit mingguan di Bandung ini, memuat SR dalam bahasa Melayu (jilid I, dari keseluruhan tiga jilid SR) sebagai fuilleton-nya.
Aktivitas politik Sanoesi terlihat pada berbagai kegiatannya pada Sarekat Islam dan hubungannya dengan organisasi bawah tanah, Afdeeling B. Setelah SI mengalami perpecahan, Sanoesi berkiprah dalam Sarekat Rakyat yang lebih dekat ke PKI. Ia juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh PKI, seperti Semaun, H. Misbah, dan lain-lain. Berbagai aktivitas dan tulisannya yang bersifat radikal, telah menyebabkan Sanoesi keluar-masuk penjara. Pada tahun 1920-an, beberapa kali ia mendekam dalam bui hingga akhirnya dibuang ke Boven Digul, Irian Barat.
Posisi Sanoesi sebagai nasionalis radikal itu telah menghasilkan corak sastra yang sama dengan karya yang dihasilkan oleh kelompok nasionalis radikal lain. Terutama menyangkut bahasa yang digunakan dan tema cerita.
SR sebagai 'bacaan liar'
Sebagai roman yang terbit secara partikelir, SR muncul ke tengah masyarakat pembacanya dengan ciri-ciri yang serupa dengan karakteristik roman non-Balai Pustaka (BP). Pada umumnya, karya non-BP dianggap sebagai karya yang tidak bernilai. Bahkan, disebut sebagai 'bacaan liar' yang tidak layak dikonsumsi.
Adapun ciri fisik roman SR adalah: pertama, berupa buku tipis yang dibagi dalam tiga jilid, masing-masing jilid terdiri antara 15-23 halaman. Jilid I berisi 23 hlm, jilid II berisi 16 hlm., dan jilid berisi III 15 hlm.). Jumlah keseluruhannya 54 halaman.
Kedua, sebelum dicetak dalam bentuk buku, jilid pertama roman tersebut pernah ditulis sebagai cerita bersambung (fuilleton) dalam bahasa Melayu. Fuilleton itu dimuat dalam koran Matahari edisi: no. 1 (13 Agustus 1922), no. 3 (20 Agustus 1922), no. 4 (27 Agustus 1922), no. 5 (4 September 1922), no. 6 (9 September 1922), no. 7 [16 September 1922], no. 8 (23 September 1922), no. 9 (30 September 1922), dan no. 10 (1 Januari 1923). Belum diketahui alasan yang jelas, mengapa hanya jilid I yang ada edisi Melayunya. Dengan demikian, roman SR jilid I diterbitkan dalam dua edisi, yaitu Melayu dan Sunda. Keterangan mengenai hal ini juga ditemukan dalam iklan surat kabar tersebut dan iklan dalam roman SR berbahasa Sunda jilid II. Jilid II sendiri diperkirakan hanya ditulis dalam bahasa Sunda, seperti dikemukakan dalam iklan surat kabar Matahari, 26 Mei 1924. Sementara untuk jilid III, baru terbit beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 1927, setelah Sanoesi tidak lagi menjadi redaktur Matahari.
Menurut pengamatan saya, pemaparan cerita dalam edisi Melayu, dalam beberapa hal, seperti penggambaran latar dan alur cerita, tampak lebih detail daripada SR yang berbahasa Sunda. Hal tersebut terlihat dengan tidak ditemukannya beberapa alinea dari edisi Melayu di dalam edisi Sundanya. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa pengarangnya lebih leluasa berekspresi dalam bahasa Melayu daripada bahasa Sunda.
Ketiga, pengambilan bahan cerita dari kehidupan sehari-hari, yang menjadi ciri karya-karya jenis non-Balai Pustaka, ditemukan pula dalam SR. Namun, dalam karya ini pengarangnya menekankan kepada pembaca, bahwa kemiripan-kemiripan dengan kehidupan sehari-hari dalam roman tersebut tidaklah penting. Ia lebih menekankan agar pembaca lebih memahami isi atau pesan cerita tersebut. Kondisi ini memperlihatkan sikap pengarang, yang lebih mengedepankan ideologi romannya daripada sekadar realisme. Sementara itu, bahasa Sunda yang digunakan dalam SR bisa dipadankan dengan Melayu Rendah yang menggunakan bahasa campuran (Sunda, Melayu, Belanda) dalam dialog-dialognya.
Sikap perlawanan dalam SR
SR, merupakan salah satu roman yang melakukan resistensi terhadap kolonialisme dalam bentuk wacana tandingan. Di dalamnya, ditemukan adanya bentuk resistensi dengan memaparkan penindasan dan penganiayaan yang dilakukan penjajah terhadap terjajah. Hal itu kemudian memunculkan suatu bentuk resistensi atau perlawanan. Resistensi yang terdapat dalam roman ini, membawanya pada bentuk wacana tandingan kanonik karena adanya unsur-unsur ekspresi literer yang berbeda dengan wacana yang dominan.
Sebagai wacana tandingan, roman SR menggunakan struktur cerita dengan sudut pandang terjajah, bukan penjajah. Roman ini, melalui struktur ceritanya, melakukan dekonstruksi terhadap wacana dominan yang selalu memandang Barat (penjajah) sebagai superior dan dominatif terhadap Timur (terjajah). Dalam roman ini, representasi masyarakat terjajah dilakukan dengan sudut pandang dirinya. Berbeda dengan wacana dominan yang menggunakan sudut pandang Barat. Hal tersebut mengindikasikan adanya resistensi dalam SR melalui wacana tandingan kanonik yang meliputi penggunaan bahasa, tema, dan karakterisasi tokoh.
Namun, resistensi itu ternyata tidak dapat dilakukan secara utuh, melainkan bersifat ambigu atau ambivalen. Dalam SR, ambiguitas itu dapat dilihat dari perpaduan aspek kerpibumian dan keeropaan yang menggaung di sepanjang roman, dalam membangun nilai-nilai resistensi tersebut. Perpaduan Barat dan Timur itu, secara jelas terlihat pada identitas rasial, pendidikan, proses pembelajaran politik, serta cara pandang hidup tokoh utamanya.
Dalam roman ini, pengarang tampak ingin lebih menekankan aspek kepribumian si tokoh dalam melakukan resistensi. Hal itu antara lain dapat dilihat dari identitas rasial Titi (Siti Rayati), tokoh utama cerita. Penolakan Steenhart --di awal cerita-- untuk mengakui kehamilan Patimah, ibu Titi, menunjukkan bahwa sejak awal kepribumian lebih melekat pada diri Titi daripada keeropaannya. Begitu juga ketika Titi menjadi anak angkat bupati, banyak orang menyangka bahwa ia adalah anak bupati sendiri (SR II, hlm.8). Walaupun ia digambarkan memiliki kemiripan seperti anak Belanda (SR II, hlm.6-7).
Kondisi yang kontradiktif itu menunjukkan ambiguitas pengarang dalam roman ini. Di satu pihak, ia ingin menunjukkan Titi sebagai Indo yang merupakan hasil perkosaan laki-laki Belanda terhadap perempuan pribumi. Akan tetapi, di lain pihak, ia ingin menunjukkan kepribumian si tokoh sepenuhnya, terutama dalam hal pembelaannya terhadap pribumi. Hal itu diperkuat pula pada bagian lain cerita, ketika Titi beranjak dewasa. Titi mempelajari buku-buku babad sebagai buku tradisional pribumi dengan pandangan positif seperti terhadap buku-buku Eropa (SR II, h.10).
Ungkapan mengenai kesukaan Titi terhadap buku-buku babad tradisional tersebut, menunjukkan bahwa Titi memiliki perasaan dan perhatian yang besar terhadap kepribumiannya. Hal lain yang menunjukkan aspek kepribumian Titi adalah cara pergaulannya. Ketika ia berada di antara orang pribumi, ia akan mengikuti cara-cara dan adat istiadat orang pribumi, dalam berpakaian atau berbicara (SR II, hlm.11).
Meskipun pengarang ingin lebih menekankan aspek kepribumian dalam melakukan resistensi, kenyataannya gambaran yang menunjukkan hal tersebut sangat sedikit dan singkat, yaitu pada bagian saat ia bayi dan remaja. Si tokoh sendiri diceritakan tidak mengetahui identitas keindoannya, kecuali setelah ia dewasa dan ayah angkatnya meninggal. Kondisi ini memperkuat adanya situasi yang tidak mempersoalkan status Indo, yang beridentitas ganda dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan tersebut. Aspek kepribumian ini tampak lebih menonjol di bagian akhir roman. Yaitu ketika si tokoh melakukan resistensi terhadap kolonialisme dengan melakukan 'penyerangan' terhadap bupati atau menak, sebagai bentuk keberpihakannya terhadap pribumi, khususnya rakyat kecil. Sikap ini ditunjukkan pula dengan pilihan Titi untuk berada di luar tatanan kehidupan menak dan bersikap anti-menak. Peristiwa ini seolah-olah ingin mengembalikan jatidiri Titi, yang berasal dari rakyat kebanyakan seperti ibunya, Patimah.
Keberpihakan Titi kepada pribumi sebagai bukti menonjolnya aspek kepribumian si tokoh, bergema di sepanjang akhir cerita. Diperkuat melalui peristiwa pertemuannya kembali dengan ibunya dan pernikahannya dengan seorang jurnalis. Keduanya adalah pribumi, sehingga memposisikan Titi secara kuat dalam kepribumiannya. Penegasan mengenai hal tersebut dikemukakan pada akhir cerita. Supaya sakabeh terang/ Gan Titi terusna nikah/ Jeung Jurnalis tukang ngarang/Salamet aya berekah/ Gan Titi jeung salakina/ Estu euweuh kuciwana/Duaanana nyepeng pena/Nyerat ngabela rayatna. (Supaya semua tahu/Gan Titi kemudian nikah/Dengan Jurnalis tukang ngarang/Selamat mendapat berkah/ ...Gan Titi dengan suaminya/ Sungguh tidak mengecewakan/Keduanya memegang pena/Menulis membela rakyatnya). (SR III, hlm. 15).
Pada bagian akhir ini, secara jelas roman menghilangkan identitas keindoan Titi, meleburnya dalam identitas kepribumiannya. Hal tersebut diperlukan untuk mempertegas, bahwa pribumilah yang melakukan resistensi terhadap kolonialisme itu. Bukan intervensi pihak lain, yaitu Barat. Upaya pemihakan ini, pada akhirnya, menjadi perjuangan dalam roman ini untuk melakukan resistensi dan rekonstruksi terus-menerus, yang membawanya pada situasi pascakolonial yang kompleks.
**
Dalam SR, nilai-nilai keeropaan sebenarnya berperan lebih besar pada proses resistensi, dibadingkan nilai kepribumian. Hal itu dapat dilihat mulai dari proses pengasuhan, pendidikan, dan pembelajaran politik si tokoh. Sejak ia duduk di TK sampai sekolah guru di Betawi (SR II, hlm.8-9). Sebagai anak angkat bupati, sejak kecil ia diberi pakaian, dandanan, dan pola pengasuhan dengan cara-cara Eropa. Gambaran mengenai sorot matanya yang persis seperti anak Belanda, menunjukkan bahwa meskipun diasuh oleh menak pribumi, dan lahir dari seorang ibu pribumi, ia tetap memiliki garis darah ayahnya, seorang Belanda. Dengan demikian, identitas ganda Titi sebagai indo tetap melekat pada dirinya.
Selain itu, aspek keeropaan yang menonjol dalam diri Titi adalah pergaulannya yang banyak dihabiskan dengan orang-orang Eropa, termasuk guru-guru Eropanya. Hal tersebut dimaksudkan agar Titi lebih mudah dan cepat dalam menyerap pelajaran berbahasa Belanda.
Nilai keeropaan yang paling berpengaruh dalam penyadaran politik Titi, adalah persingungannya dengan tokoh liberal Dr. Van der Goud. Tokoh ini digambarkan memiliki watak sangat simpatik kepada pribumi dan menjadi panutan baik orang Belanda maupun pribumi. Hal tersebut sangat berpengaruh pada diri Titi, yaitu tumbuhnya rasa humanisme yang kuat dalam dirinya. Inilah yang kemudian memunculkan kesadaran untuk melakukan pembelaan terhadap kaum pribumi yang lemah, atau melakukan resistensi terhadap kolonialisme. Begitu pula dalam pergaulannya yang selalu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di mana ia berada, baik terhadap pribumi maupun Belanda. Sikap itu menunjukkan adanya ambiguitas pada diri Titi sebagai figur resistensi. Akibatnya, resistensi itu tidak dilakukan secara penuh (SR II, hlm.11).
Cara pergaulan si tokoh yang tidak membedakan bangsa pribumi atau Belanda, di satu pihak dapat dilihat sebagai konsekuensi dari sikap humanisme dan universalismenya dalam memandang manusia. Namun, dalam konteks resistensi, hal tersebut merupakan suatu bentuk ambiguitas sikap si tokoh dalam memandang Barat dan Timur. Oleh sebab itu, hal yang secara kuat bergaung dalam roman ini adalah perlawanan terhadap sifat kolonialisme. Suatu perlawanan yang dapat dilakukan baik oleh pribumi (Timur) maupun Barat.*** 
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0902/19/khazanah/lainnya06.htm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini