Sosok Ibu dan Spiritualitas



Oleh NENENG YANTI Kh.
MENGHAYATI peran sebagai seorang ibu bukanlah hal yang mudah. Perjuangan dan pengorbanan seorang ibu begitu besar dalam mendedikasikan hidupnya bagi tumbuh dan berkembangnya generasi yang berkualitas. Tugas yang diemban seorang ibu dalam proses regenerasi manusia menempatkannya dalam posisi sentral dalam kehidupan.
Bahkan, ketika seorang ibu berada pada puncak proses melahir­kan manusia baru, perjuangannya yang berada antara hidup dan mati, dengan mempertaruhkan kehidupannya sendiri untuk sebuah kehidupan baru, disejajarkan dengan seorang pejuang yang tengah berada di medan perang. Ketika seorang ibu "gugur" dalam menjalankan tugas itu, agama mengategorikan kematiannya sebagai "mati syahid", yaitu sebuah kematian mulia di jalan Allah dengan imbalan surga. Sebuah kategori kematian bagi orang yang berjuang di jalan Tuhan.
Begitu penting sekaligus beratnya peran yang diemban seorang ibu sehingga upaya-upaya pemuliaan atasnya dirasa perlu untuk dilakukan. Di antara bentuk simbol pemuliaan dan penghargaan itu adalah dengan memberinya momen khusus di bulan Desember, tepatnya pada tanggal 22, sebagai peringatan Hari Ibu. Dalam ajaran agama, bentuk pemuliaan terhadap sosok ibu dan larangan untuk menyakitinya disuratkan secara tegas dalam Alquran dan Hadits.
Dalam masyarakat Indonesia, merujuk ajaran agama, norma-norma dan aturan masyarakat dalam pemuliaan seorang ibu menjadi sangat penting. Ketika seorang anak melanggar aturan tersebut, ia dikategorikan sebagai "anak durhaka". Beberapa kisah legenda kita telah mengabadikan ajaran tersebut. Yang paling terkenal adalah kisah Malinkundang dari Sumatra Barat, yang masyarakatnya dikenal menganut pola matrilineal, yang menempatkan sosok ibu atau perempuan pada posisi sentral.
Dalam kisah tersebut, pelanggaran atas pemuliaan terhadap seorang ibu dilambangkan dengan "anak yang menjadi batu". Karena seorang ibu adalah "pemberi" dan "pemelihara" hidup, pelanggaran dan atau pengingkaran atasnya dapat membawa seseorang pada akhir kehidupan yang tercela, sia-sia, penuh penderitaan.
Simbol Spiritualitas
Dalam mitos tradisi budaya Sunda lama, simbol itu sangat kuat terekat dalam sosok Sunan Ambu. Sosok ini memiliki peran sentral dengan memasuki wilayah-wilayah kritis dalam setiap peristiwa kehidupan yang dialami manusia di bumi. Sunan Ambu menjadi simbol dewi pemelihara, dewi penolong. Ia merupakan simbol spiritualitas tertinggi yang melambangkan Dunia Atas atau langit, sedangkan laki-laki melambangkan Dunia Bawah atau bumi.
Menarik bila mengamati simbol-simbol spiritualitas perempuan yang dilekatkan dengan sosok ibu. Beberapa kisah keteladanan yang sering dijadikan materi pembelajaran banyak yang menegaskan posisi tersebut. Setidaknya, ada dua kisah yang sangat populer. Pertama, tentang seorang sahabat nabi yang saleh, begitu taat beribadah, tetapi tidak mampu menjemput kematiannya secara sempurna karena "pengingkaran" terhadap ibunya. Ia baru lepas dari derita sakaratulmaut setelah mendapatkan pengakuan dan ampunan sang ibu.
Kedua, kisah seorang pemuda bernama Uwaisy al-Qorni, yang membaktikan hidupnya untuk merawat ibunya yang sudah tua renta. Sikap pemuliaannya itu membuatnya dipuji dan dicontohkan Nabi Muhammad saw sebagai calon penghuni surga. Pada tingkatan ini, apa yang disebut "keridaan" seorang ibu menjadi simbol "keridaan" Tuhan. Sebaliknya, bila seorang ibu "murka", seseorang tak akan mampu mencapai kesempurnaan spiritualitasnya menuju Sang Khalik, sesaleh apa pun ia dalam menjalankan ritual ibadahnya. Bahkan, seperti yang tersirat dalam kisah kedua, perjalanan menuju Tuhan dapat dilalui dengan laku pengabdian terhadap seorang ibu.
Pengalaman subjektif manusia dalam proses keilahian itu menjadi acuan yang diretas melalui proses kemanusiaan. Karena sejatinya manusia yang sempurna spiritualitasnya adalah manusia yang mengagungkan aspek humanisme sebagai simbol kediriannya. Dalam konteks demikian, pemuliaan atas sosok ibu menjadi simbol kesempurnaan bagi pencapaian spiritualitas yang dihayati melalui praktik nilai-nilai kemanusiaan. Ibu adalah lambang kehidupan, lambang kesuburan, lambang ketenteraman.
Hal ini menegaskan pula bahwa puncak spiritualitas itu tidak melulu dicapai melalui pembacaan ayat-ayat Tuhan secara harfiah, melainkan juga dengan penyebaran dan penerapan pesan-pesan ilahiah melalui praktik kemanusiaan. Seperti seorang ibu yang selalu memberikan upaya-upaya terbaiknya bagi terbentuknya insan kamil. Seorang ibu yang tidak pernah egois atas kepentingannya sendiri. Seorang ibu yang menemukan esensi kebahagiaan hidupnya melalui kebahagiaan manusia lain. Seorang ibu yang selalu berbagi kehidupan dengan manusia lain.
Dalam konteks ini pula, seorang ibu atau perempuan diyakini memiliki daya hidup lebih tinggi daripada laki-laki. Di tengah konflik sosial yang tiada henti, kemiskinan yang terus mengimpit, dan kesulitan-kesulitan lain, tak pelak kaum ibu dan anak-anak adalah korban yang paling rentan. Akan tetapi, justru dalam kondisi demikian mereka mampu bertahan dan bangkit dari keterpurukan dan ketidakpastian hidup. Naluri alamiah untuk menjaga dan melindungi anak-anak membuat mereka mampu mengalahkan segala sakit dan derita. Sebuah kekuatan spiritual yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman kemanusiaan.
Suara Ibu
Di tengah berbagai simbol pemujaan dan pemuliaan yang bahkan telah mengakar, baik dalam tradisi budaya maupun agama, bagaimana hal itu dimaknai dan diwujudkan dalam praktik keseharian kita? Sejauh yang bisa disimak dalam berbagai pemberitaan media maupun dalam keseharian, pelanggaran atas bentuk-bentuk pemuliaan terhadap ibu, yang berarti juga terhadap perempuan, masih banyak dijumpai. Kekerasan fisik maupun psikis masih menjadi persoalan serius yang amat memprihatinkan, baik dalam tataran keluarga, masyarakat, maupun negara.
Kondisi demikian menjadi sesuatu yang tak terelakkan dalam masyarakat patriarkal, ketika perempuan hanya menempati posisi nomor dua. Dalam konstruksi sosial-budaya masyarakat yang demikian, perempuan ideal masih diukur dari keberhasilannya berperan di wilayah domestik, mengurus rumah tangga atau keluarga. Wilayah publik yang keras, penuh persaingan dan ancaman, masih identik dengan wilayah laki-laki. Pemahaman yang berakar dari pemahaman agama itu menjadi pembenaran untuk menempatkan perempuan dalam posisi demikian.
Implikasinya, ketika ruang dan gerak perempuan itu dibatasi dalam lingkup tertentu, semua persoalan yang menyangkut kepentingan perempuan diatur oleh laki-laki. Pada tataran negara, yang juga "laki-laki", berbagai aturan dan undang-undang yang menyangkut kepentingan perempuan dirancang dan dibentuk oleh mayoritas laki-laki. Kalaupun ada suara perempuan, masih sangat minim dan belum mampu menyuarakan kepentingan perempuan secara keseluruhan.
Perempuan masih belum banyak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, karena keterwakilan perempuan dalam politik masih sangat minim. Padahal, perempuan adalah penyumbang suara terbesar dalam pemilu. Dalam konteks itu, sebagaimana ditegaskan oleh Fatima Mernissi (1999), seorang feminis Muslim asal Maroko, keluarga yang berhasil adalah ketika seorang ibu memperoleh tingkat pendidikan yang baik, memiliki akses publik yang luas, dan mempunyai posisi tawar yang kuat. Dengan keluasan pandangan itulah, seorang ibu akan mampu mendidik anak-anak mereka dengan cerdas dan bijaksana.
Momentum hari ibu adalah saat yang tepat untuk refleksi bahwa banyak persoalan di seputar ibu dan perempuan yang menuntut perhatian lebih besar. Oleh karena itu, kita berharap agar segera ada perbaikan, dalam tataran keluarga, masyarakat, dan negara. Bahwa sosok ibu bukan sekadar simbol domestikasi peran perempuan, tetapi lebih jauh mampu menjadi inspirasi bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, bagi laki-laki maupun perempuan. Selamat Hari Ibu!***
Penulis, staf pengajar STSI Bandung. (Dimuat dalam Pikiran Rakyat, 22 Desember 2006)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini