Nadoman, Berdakwah dengan Nyanyian


Eling-eling masing eling. Rumingkang di bumi alam. Darma wawayangan wae.Raga tayapangawasa. Lamun kasasar lampah. Napsu nu matak kaduhung. Badan anu katempuhan.

TIDAK mudah menelusuri jejak kapan mulai munculnya nadoman di tatar Sunda. Nadoman dikategorikan sastra lisan yang hidup di tengah masyarakat tanpa diketahui siapa dan kapan ditulis. Ia bersifat anonim. Dalam sastra lisan, karya itu milik semua orang. Itu sebabnya, sulit menelusuri sejarah nadoman.
Pada pertengahan abad XX, nadoman menjadi sarana dakwah dan penyebaran ilmu agama yang efektif. Tidak hanya kiai atau ajengan yang bisa melakukannya, para ustaz di musala di kampung-kampung juga bisa membuatnya. Baik lagu bebas yang dalam istilah karawitan disebut "kawih", maupun lagu terikat seperti "tembang" atau "dangding". Di masyarakat, nadoman ini kemudian lebih dikenal sebagai pupujian. Sejumlah nadoman dari masa itu masih hidup hingga hari ini, di antaranya adalah "Pepeling" yang ditulis oleh Aria Bratawidjaja seperti yang ditulis di awal artikel ini. Teks pupujian ini tercatat dalam buletin Al Mawaidz No.1 Th. 1 tahun 1933. Pupujian ini masih populer hingga sekarang, sekalipun dari keseluruhan 45 bait hanya dua-tiga bait yang masih diingat.
Faktor yang paling penting dalam terpeliharanya tradisi nadoman adalah masyarakat penggunanya. Di sejumlah daerah di Jawa Barat, khususnya di kalangan masyarakat yang masih mempraktikkan pola-pola tradisi, nadoman masih terus hidup melalui beragam media. Salah satunya adalah kegiatan marhabaan atau pembacaan kitab Barzanzi. Orang Sunda menyebutnya debaan, yakni sebuah kegiatan pembacaan syair-syair yang berisi pengagungan terhadap Nabi SAW. dan keluarganya. Di pesantren-pesantren tradisional, kegiatan ini pun masih bertahan bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan para santri yang dibacakan setiap malam Jumat. Kitab yang dibaca sekira dua jam itu memang berbahasa Arab. Akan tetapi, cara membawakan atau lagu yang digunakan sudah mengadaptasi selera lokal, termasuk menggunakan lagu-lagu yang tengah populer.
Ketika pendidikan modern melalui sekolah formal menjadi keharusan, maka pesantren tradisional memberikan toleransi kepada para santri untuk bisa mengikuti pendidikan formal di luar pesantren. Waktu yang dihabiskan santri untuk belajar di pesantren saat ini berkisar tiga sampai enam tahunan. Waktu yang cukup singkat ini menyebabkan santri tidak punya waktu yang cukup untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu agama.
MENURUT K.H. M. Nud Ad-Dawami, pengasuh Pesantren Nurul Huda Cisurupan, Garut, keterbatasan waktu itulah yang menyebabkan para santri saat ini tidak lagi memiliki kemampuan menyusun syair, termasuk pupujian/nadoman. "Untuk tetap menghidupkan nadoman di tengah masyarakat, khususnya melalui para santri, saya memberikan bentuk nadoman yang sudah jadi," ujar kiai yang akrab disapa Ceng Enoh itu.
Dengan demikian, para santri tetap mengenal dan menghapal nadoman tersebut. Ini untuk mempermudah pemahaman mereka terhadap ilmu yang diajarkan dan nantinya akan mereka sebarkan di kampung halaman masing-masing.
Proses penulisan nadoman, menurut Ceng Enoh, umumnya dimulai dari aturan sastra Arab yakni dengan menentukan metrum atau bahamya dulu, baru kemudian disesuaikan dengan pupuh dalam Sastra Sunda. Hal ini berarti proses penulisan nadoman itu bertitik tolak dari kemampuan ajengan atau kalangan pesantren terhadap sastra Arab baru, kemudian diadaptasi ke dalam bentuk sastra lokal (Sunda). Hal itu lebih memudahkan proses penulisan, karena mereka umumnya lebih memahami sastra Arab daripada sastra Sunda.
Akan tetapi, menurut Ceng Enoh, hal itu lebih banyak dilakukan oleh ajengan yang memiliki keahlian atau kepekaan seni. Mereka mengerti bahar dengan baik dan juga memahami aturan pupuh sehingga ketika mentransfer dari bahar ke pupuh menjadi sesuai atau mengena. "Saat ini, membuat pupujian atau nadoman tidak lagi berpatokan pada bahar atau pupuh, melainkan asal enak didengar," papar Ceng Enoh. Akibatnya, lagu pada nadoman tidak lagi sesuai dengan aturan-aturan arudl ataupun pupuh.
Mereka umumnya mengira-ngira saja, sekalipun tidak cocok dengan bahar maupun wazannya. Seperti contoh pupujian di masjid-masjid, "Hayu batur-batur urang solat berjamaah", lagu itu tidak mengena secara aturan arudl maupun pupuh, tetapi mudah dinyanyikan dan enak didengar menurut ukuran awam.
Ceng Enoh terbilang ajengan yang langka dalam kemahirannya menyusun karya yang bisa dikategorikan sastra Sunda. Ia termasuk sedikit dari ajengan yang memiliki keahlian dalam menyusun nadoman dengan tetap berpatokan pada arudl dan pupuh. Ia telah menyusun nadoman sejak mempelajari arudl di pesantren tempatnya dulu belajar. Mula-mula dibuatnyadalam bahasa Arab, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda. Kebiasaan itu terus dilatihnya bersama santri lainnya hingga mahir. Kegiatan menyusun syair dan lagu itu menjadi kegiatan mereka di waktu senggang.
Pengetahuan tentang pupuh, didapatnya dari prosesi pembacaan wawacan atau maca layang dalam acara hajatan maupun acara keagamaan, seperti Muludan dan Rajaban. Di antara wawacan yang sering didengarnya ialah Nabi Paras dan cerita perjuangan Islam lainnya, yang dibacakan dalam pupuh Sinom, Wirangrong, dan Kinanti.
Dalam pandangan Ceng Enoh, praktik beragama dalam Islam sejak dulu memang sudah nyeni, terutama karena para ahli tasawuf itu kebanyakan nyeni. "Dalam ilmu pendidikan, Imam Ghazali menyarankan agar dalam penyampaian pesan-pesan kebaikan itu tidak menggunakan kalimat shorih (langsung/tegas) tapi dengan kinayah (perumpamaan), jangan menggunakan kalimat langsung tapi dengan sindiran," ujarnya.
Saat ini terjadi pergeseran fungsi nadoman. Jika dulu nadoman merupakan media utama penyebaran ilmu agama yang efektif, sekarang lebih banyak digunakan sebagai pengantar pengajian. (Neneng Yanti K.H., staf pengajar STSI Bandung)***
Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2010

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini