Kepedulian Anak-anak Indonesia di Australia

Catatan atas Operet “Sejuta Senyum untuk Sahabat”

Kepedulian Anak-anak Indonesia di Australia


EKKI SYAMSULHAKIM
EKKI SYAMSULHAKIM
OPERET “Sejuta Senyum untuk Sahabat”.*
PRLM - “Actually, you and I come from the same nation, Indonesia. Even though we are living in a different side of Indonesia, we still love our country very much. So that’s why we can feel what you feel. Your hope is our hope. Your dream is our dream too...” (Operet “Sejuta Senyum untuk Sahabat”)
Indonesia itu indah. Indonesia itu kaya. Indonesia itu milik kita dan karenanya harus kita cintai. Namun, dibalik keindahan dan kekayaannya, masih banyak anak-anak yang tidak beruntung karena tidak dapat bersekolah. Itulah sepenggal pesan yang ingin disampaikan dalam acara yang digagas Monash Indonesian Islamic Society (MIIS), perkumpulan komunitas Muslim Indonesia di lingkungan Monash University, bertajuk “Sejuta Senyum untuk Sahabat”. Sebuah konser amal (charity concert) yang dilaksanakan pada Sabtu (4/2/12) di Melbourne City Conference Centre.
Kegiatan ini bertujuan menggalang kepedulian para mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Melbourne, untuk menyisihkan pendapatannya untuk anak-anak Indonesia yang mengalami hambatan dalam bersekolah melalui program beasiswa yang dikemas dalam sebuah program bernama “Indonesia Belajar”. Program yang diinisiasi oleh MIIS tersebut diluncurkan pada hari itu dengan didukung oleh Konjen RI serta berbagai perkumpulan masyarakat Indonesia di Melbourne, seperti PPIA (Perkumpulan Pelajar Indonesia Australia) Victoria, Paguyuban Pasundan cabang Victoria, Minang Saiyo, dan lain-lain.
Selain penggalangan dana, acara ini juga menjadi salah satu media untuk menumbuhkan kecintaan sekaligus memperkenalkan budaya Indonesia kepada anak-anak Indonesia yang tinggal di luar negeri.
“Indonesia Belajar”
Pendidikan adalah kunci untuk menuju sebuah bangsa yang maju. Hanya dengan pendidikan yang baik, cita-cita menuju pilar-pilar negara seperti yang dimaktubkan dalam Pancasila akan tercapai. Kesadaran pendidikan masyarakat di tanah air saat ini sebenarnya sudah sangat baik. Masalahnya, hal itu seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada, seperti tetap mahalnya biaya sekolah meski program BOS telah diluncurkan, masih terjadinya pungutan-pungutan liar, serta lingkaran setan kemiskinan sendiri yang membuat anak-anak dikirim ke jalanan demi sesuap nasi, dan sebagainya.
Ketika sebuah video yang menggambarkan anak-anak yang hendak bersekolah dengan melawati “jembatan maut” di sebuah kampung di Lebak Banten muncul ke permukaan beberapa waktu yang lalu, segera menjadi perbincangan hangat hingga diberitakan di media internasional seperti Reuters dan Dailymail.
Berbagai pernyataan keprihatinan muncul di mana-mana. Dalam video tersebut digambarkan bagaimana anak-anak harus bergelantungan di tali jembatan untuk pergi ke sekolah, akibat jembatan yang sudah rusak terserang banjir. Anak-anak itu tak mau ketinggalan kesempatan pergi ke sekolah meskipun nyawa mengintai keselamatan mereka saat bergelantungan di atas jembatan tali itu.
Bersamaan dengan kisah pilu di atas, pada tahun 2011, indeks pembangunan pendidikan atau Education Development Index (EDI) Indonesia yang dikeluarkan UNESCO meliris angka yang menunjukan adanya penurunan di peringkat dunia dari 65 ke rangking 69 akibat banyaknya anak putus sekolah (Kompas, 2-3-2011).
Sebuah surat kabar nasional juga mencatat bahwa mereka yang terancam putus sekolah di Indonesia masih sangat tinggi, sekitar 13 juta anak. Rumitnya persoalan kebijakan ditambah dengan budaya korupsi yang sulit dihilangkan membuat anggaran 20% pendidikan di APBN, yang konon angkanya mencapai 200 trilliun, pun belum cukup mampu mengatasi berbagai persoalan pendidikan ini. Maka, sebagai bagian dari komponen masyarakat sudah selayaknya kita pun berbuat sesuatu.
Berangkat dari keinginan “berbuat sesuatu” itu program “Indonesia Belajar” yang digagas oleh MIIS diluncurkan. Kegiatan ini merupakan sebentuk upaya nyata para mahasiswa Indonesia yang mendapat kesempatan belajar di Australia, khususnya Melbourne, untuk memberikan kontribusi nyata bagi pendidikan di tanah air.
Didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam mengingat masih tingginya angka putus sekolah anak-anak di Indonesia, maka kontribusi tersebut diwujudkan dalam bentuk penggalangan dana untuk beasiswa yang nantinya akan diberikan kepada anak-anak putus sekolah di Indonesia.
Dengan tagline “one hour for better Indonesia” diharapkan dapat terkumpul sejumlah dana dengan donasi minimal $10, yang diartikan jumlah upah kerja minimal per jam di Melbourne. Mengingat besarnya jumlah mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Melbourne tentu donasi ini diharapkan sebagai sebuah langkah kecil dengan manfaat yang besar, sesuai tagline-nya “one hour for better Indonesia” .
Cinta dan Empati
Dalam konser amal tersebut, kepedulian terhadap anak-anak putus sekolah di Indonesia itu disuarakan oleh anak-anak Indonesia di Australia. Menebarkan empati melalui anak-anak ini menjadi penting mengingat hampir semua anak-anak Indonesia yang sekolah di Australia, mengalami pengalaman belajar yang sangat berbeda. Sistem pendidikan di negara maju seperti Australia memungkinkan mereka dapat menikmati pengalaman-pengalaman yang tidak mereka temukan di tanah air.
Misalnya, dalam hal kemampuan bahasa Inggris. Anak-anak ini punya kemampuan bahasa Inggris yang bahkan melebihi kemampuan para orang tua mereka. Namun, tak jarang saat hendak pulang ke Indonesia, ketika masa belajar orang tua sudah selesai, anak-anak ini pun mengalami cultural shock karena sebagian mereka bahkan tidak bisa lagi berbahasa Indonesia. Maka, konser “Sejuta Senyum untuk Sahabat” tersebut menjadi pembelajaran yang sangat menarik dengan bintang panggung yang hampir seluruhnya anak-anak usia 5-12 tahun.
Meskipun lagu-lagu yang dinyanyikan hampir sebagian besar lagu-lagu Indonesia, tapi Operet sendiri dikemas dalam bahasa Inggris. Walaupun dalam keseharian mereka anak-anak ini lebih fasih berbahasa Inggris tapi mereka juga tampak fasih saat menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Maka, lagu-lagu yang akrab di kalangan anak-anak seperti "Libur Telah Tiba", "Becak", "Melangkah Lagi", "Desaku", dan lain-lain mengalun ceria diselingi berbagai tarian daerah yang juga dibawakan oleh anak-anak.
Operet ini berkisah tentang anak-anak Indonesia di Australia yang mendapat hadiah bernama “Indonesian Amazing Race!” untuk berpetualang berkeliling Indonesia. Dengan gaya meniru petualangan ala Charlie Angels, anak-anak memulai petualangannya dengan berbekal laptop yang akan memberikan berbagai instruksi sekaligus memantau perjalanan mereka selama keliling Indonesia dalam menemukan “harta karun” budaya Indonesia, mulai dari pulau Sumatra hingga Madura.
Memang tidak semua budaya, tarian, dan lagu-lagu dari berbagai etnis Indonesia terwakili karena berbagai keterbatasan. Akan tetapi, munculnya berbagai atribut khas lokal yang tidak bisa ditemui di Australia, sungguh menjadi hiburan tersendiri. Misalnya, becak yang dihadirkan di atas panggung. Sate Madura lengkap dengan tampilan khas pakaian dan logat tradisional Madura, dan lain-lain.
Bagi anak-anak Indonesia di Australia hal-hal itu sangat menghibur karena dapat mengobati kerinduan terhadap tanah air yang dicintainya.
Akan tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana anak-anak ini belajar berempati tentang kondisi saudara-saudaranya seperti terekam dalam sebuah dialog yang dikutip diatas, yang artinya, “Sebenarnya, kamu dan saya berasal dari negeri yang sama; Indonesia. Meskipun kami tinggal di luar Indonesia, tapi kami tetap sangat mencintai negeri kami. Karenanya, kami bisa merasakan apa yang kalian rasakan. Harapan kalian adalah harapan kami. Mimpi kalian adalah mimpi kami juga...” Dialog ini setidaknya ingin menyampaikan pesan bahwa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, warga Indonesia di Australia pun ingin melakukan sesuatu untuk teman-temannya di Indonesia. Semoga. (Neneng Yanti Kh., Ph.D Student di Monash University, Melbourne, Australia)***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini