Pencarian dan Takdir

Setiap orang melalui episode pencarian yang berbeda-beda dalam hidupnya. Ada yang sudah tahu apa yang dicita-citakan dan diinginkannya sejak semula. Lalu, belajar dengan keras hingga akhirnya benar-benar berhasil dengan cita-citanya. Begitu konsisten. Tapi, banyak juga yang melalui berbagai eksperimen atau bahkan menemukan jalan-jalan yang tak terduga dalam meniti perjalanan itu. Ambil kuliah ini tahu-tahu lebih suka mengerjakan itu yang tak ada hubungannya dengan kuliahnya, dll.

Saya termasuk kelompok yang kedua. Saat saya kecil, jika ditanya soal cita-cita biasanya saya akan jawab ingin jadi guru. Karena hampir semua keluarga saya (ayah, ibu meski tidak bekerja secara formal juga lulusan sekolah guru, paman2/uwa saya dst) mengabdi di dunia pendidikan. Saat saya tinggal di pesantren, sejak kelas 3 SMP, sudah membantu ngajar di kelas yang bawah. Cita-cita jadi guru tak pernah hilang. Hingga suatu saat saya memutuskan ingin jadi guru bahasa Arab, tapi ternyata terdampar di dunia yang berbeda. Dari situlah petualangan-petualangan akademik saya dimulai.

Meski kuliah di sastra Arab, seseorang mengenalkan saya pada macam-macam karya sastra Indonesia. Pada masa ini lah saya secara ekstentif membaca karya-karya sastra Indonesia dari berbagai angkatan dan genre. Nasib pun membawa saya mendalami sastra di UGM dengan harapan ini dan itu. Di UGM saya justru memulai menanam benih-benih karir menjadi peneliti saat bekerja di Pusat Studi Kebudyaan UGM yang saat itu dipimpin pembimbing S2 saya. Project pertama saya adalah meneliti kesenian di wilayah Cikarang. Menjalani aktivitas selama 2 tahun sebagai peneliti seni di Cikarang memberi pengalaman yang begitu kaya buat saya. Maklum, saya terbiasa meneliti teks, bergulat dengan studi pustaka.
Project ini ternyata membawa berkah tersendiri. Selain memberi kesempatan bekerja dengan orang-orang keren di bidang seni, melihat dari dekat kehidupan para seniman yang berprofesi sebagai 'preman', juga membuka jalan bagi karir saya. Singkatnya, saya pun bekerja di sebuah perguruan tinggi seni. Sempat selama 2 tahun struggling beradaptasi dengan lingkungan kerja baru yang tak pernah saya bayangkan. Lalu, saya pun ditakdirkan bisa kuliah di luar negeri.  Tentu ini pun sebuah keajaiban lain dari petulangan-petualangan 'liar' saya dalam menentukan pilihan hidup. 

Selama 2 tahun saya intensif belajar bahasa Inggris demi kuliah di negeri orang. Maklum bahasa Inggris bukanlah pelajaran kesukaan saya sejak SMP. Saya terpaksa belajar bahasa Inggris lagi saat kuliah S2 di UGM. Tanpa skor bhs inggris saya takkan bisa ujian pendadaran. Mulailah saya membeli buku TOEFL utk belajar secara otodidak. Saya tak punya uang utk kursus. Saat sudah bekerja dan punya uang mulailah saya pergi kursus agar bisa sekolah di luar negeri. Jangan tanya bagaimana rasanya. Peluh, lelah dan airmata. Ada saat dimana saya ingin menyerah. Tetapi, belahan jiwa saya lah yg selalu membesarkan hati saya. Saking lelahnya, pada saat saya tes bahasa Inggris yang terakhir sebelum berangkat ke LN saya sudah meminta restu suami untuk mengikhlaskan saya belajar di dalam negeri jika tes saya kali ini gagal lagi. Di saat itu, tak lupa saya mohon doa restu ibu saya karena saya percaya kekuatan doa seorang ibu. Bagi saya, hasil test bahasa Inggris yang saya peroleh saat itu, yang akhirnya membawa saya bisa sekolah ke luar negri adalah keajaiban.  Keajaiban dari doa ibu dan restu suami.

Pernah suatu ketika, saat saya menemukan pembimbing untuk riset PhD saya berada di jajaran kampus teratas di Australia dengan standar bahasa Inggris yang tinggi, yang kini jadi kampus saya, agen yang membantu saya sempat meminta saya mencari kampus lain yang standar bahasa Inggrisnya lebih terjangkau oleh otak saya.

Dulu, saat lulus SMA, saya pernah berencana untuk kuliah di Ummul Quro Mekkah dengan bantuan seseorang. Saya cukup bersemangat saat itu karena barangkali itu bisa menjadi jalan mewujudkan cita-cita ayah saya almarhum. Ayah saya seorang pencinta Al-qur'an. Belajar di sejumlah pesantren Al-qur'an hingga PTIQ. Membuat tempat ngaji di rumah khusus al qur'an. Kecintaannya pada al quran membuat ayah menginginkan kami melakukan hal yang sama. Sejak kecil, dengan disiplin yang luar biasa kami diajari ayah menghafal Al-qur'an. Kami, saat itu berlima bersaudara setiap hari, pagi-siang-sore-malam terus mengaji. Dalam pikiran kanak-kanak kami rasanya kami inginnya main saja. Bosan sekali ngaji terus :D. Adik saya yang kedua bahkan sdh diikutkan lomba tahfidz 10 juz saat kelas 3 SD.

Saat ayah mengabarkan pada saya bahwa saya akan dikirim ke pesantren, saya sangat senang meski saat itu sudah diterima di SMPN dekat rumah. Saat itu saya merasa sudah bosan ngaji di rumah, terutama saya terlalu malas disuruh setor hapalan tiap hari hehe.

Ya, ada banyak drama dalam perjalanan hidup saya. Tapi itu semua telah memperkaya batin saya. Untuk itu semua tak henti-hentinya saya bersyukur kepada Allah atas setiap jalan yang ditunjukkanNya.
Ayah meninggal tepat di malam nisfu sya'ban 23 tahun yang lalu setelah memberi pengajian nisfu syaban di rumah, tanpa sakit, tanpa pesan. Usianya mgkn baru 40an. Umur sy baru sekitar 14 thn, kelas 1 SMA. Beliau pergi dengan meninggalkan 7 org anak kecil dan seorang janin berusia 7 bulan di kandungan ibu saya. Allahu yarham. Sepeninggal ayah, ibu kamilah pahlawan kami yang sesungguhnya di dunia ini. Perjuangannya, kegigihannya, pengorbanannya yg luar biasa. Dalam kehidupan kami yang sulit, Allah telah menganugrahi beliau ketegaran yang luar biasa.

Melalui jalan-jalan sulit tidak berarti kita harus menyerah dengan keadaan. Jika 1 pintu tertutup ada 99 pintu lainnya yg bisa kau masuki. Jika kau dianugrahi hidup yang tidak seberuntung orang lain, lihatlah orang yang lebih sulit darimu. Jika hidupmu lebih beruntung maka tetaplah bekerja keras karena kesuksesan itu tidak diwariskan dari leluhurmu melainkan buah dari kerja kerasmu sendiri.
Melbourne, 5 July 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini