Mencintai Buku Sejak Dini
Oleh: Neneng Yanti
Khozanatu Lahpan*
Darurat baca. Itulah dua kata yang tepat untuk
menggambarkan situasi rendahnya minat baca masyarakat Indonesia saat ini. Di
tengah revolusi teknologi yang demikian dahsyat melanda masyarakat global,
tantangan tiap orang untuk membaca buku pun semakin besar. Di Indonesia,
masyarakat lebih banyak menikmati acara-acara televisi dan menghabiskan waktu
mengobrol di media sosial ketimbang membaca buku. Hal itu terlihat dari
tingginya rating acara-acara tertentu
di televisi dan semakin meningkatnya pengguna media sosial berbagai platform di Tanah Air. Untuk sebuah
aplikasi media sosial, misalnya, jumlah pengguna di Indonesia adalah kelima
terbesar di dunia.
Ibarat penyakit, kondisi ini sudah pada tahap kronis. Data
yang dikutip sejumlah media mengenai rendahnya tingkat membaca masyarakat Indonesia
demikian mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan 2014 oleh lembaga pendidikan,
keilmuan, dan kebudayaan dunia, UNESCO, misalnya, menyebut rata-rata orang
Indonesia hanya membaca 27 halaman setiap tahun atau satu halaman selama 15
hari. Kasus ini disebut sebagai ”tragedi nol buku” karena tidak ada buku yang
dibaca oleh rata-rata anak sekolah usia 16-18 tahun selama setahun. Disebut
tragedi nol buku juga karena pada dasarnya tidak ada buku yang dicetak setebal
27 halaman. Hal ini jauh sekali dengan yang dialami negara-negara maju, seperti
Finlandia yang sering disebut memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Di
negara itu anak-anak bisa membaca 300 halaman dalam lima hari.
Data lainnya datang dari sebuah lembaga internasional, Programme for International Student
Assessment (PISA). Pada tahun 2015, PISA menempatkan minat baca orang
Indonesia pada urutan 69 dari 76 negara, jauh dari negara tetangga Malaysia,
Vietnam, apalagi Singapura. Hasil riset yang terbilang baru, Most Littered
Nation in the World 2016, menempatkan minat baca di Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara.
Angka-angka itu menunjukkan kondisi yang sama: sangat memprihatinkan, mengingat
literasi adalah komponen utama dalam membangun peradaban sebuah bangsa.
Untuk merespons situasi tersebut, Kemdikbud telah
meluncurkan sejumlah program. Sejak 2015 Kemdikbud menggalakan program 15 menit
membaca sebelum belajar di sekolah. Sebuah program yang sangat baik dan patut
didukung. Pertanyaannya, bagaimana hal itu diimplementasikan? Sudahkah program
ini meningkatkan daya baca masyarakat, khususnya anak-anak sekolah? Tentu
jawabannya bisa beragam. Sejumlah sekolah yang relatif maju dengan fasilitas
yang memadai sudah bisa melakukan kegiatan ini. Sebaliknya, sekolah-sekolah
yang minim sarana dan prasarana kesulitan melakukan kegiatan itu mengingat
koleksi buku saja mereka tidak punya.
Masalah yang
kompleks
Persoalan daya baca yang rendah bukanlah persoalan yang
berdiri sendiri, melainkan menyangkut hal-hal lain yang cukup kompleks, seperti
minimnya ketersediaan buku, jumlah perpustakaan, hingga dukungan guru dan
sekolah, serta tentu saja orang tua/masyarakat, termasuk di dalamnya kebijakan
pendidikan nasional. Menurut data Dapodik
(Data Pengeloaan Pendidikan) Kemdikbud RI, pada tahun 2016, seperti dikutip Antaranews.com, sebanyak 74.552 dari
213.811 sekolah di Indonesia belum memiliki perpustakaan. Padahal, bila diibaratkan
tubuh manusia, perpustakaan adalah jantungnya bagi sekolah. Maka, apa jadinya
sekolah tanpa perpustakaan?
Ketersediaan buku di
sekolah memang menjadi isu yang besar dalam dunia pendidikan kita. Banyak
sekolah, terutama di perdesaan, yang tidak memiliki jumlah buku memadai untuk
dibaca para siswanya—bahkan tidak memiliki perpustakaan seperti disebutkan di
atas.
Kabar baiknya, pada tahun
2016 Pemerintah Indonesia mendapat bantuan hibah 8 juta buku dari USAID, yang
disebarkan ke 13.000 sekolah di 9 provinsi. Hibah ini sebagai bentuk kerja sama
Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat di bidang pendidikan. Tentu ini jumlah
yang cukup besar untuk dapat mendorong daya baca anak-anak. Langkah penting
berikutnya adalah pendistribusian dan pemanfaatannya oleh para siswa.
Apakah kita, dengan segala
keterbatasan yang kita miliki, mustahil meningkatkan daya baca masyarakat?
Tentu saja tidak. Bila mengamati berbagai informasi di media, ada banyak upaya
yang telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun inisiatif swasta, individu, masyarakat
(komunitas). Sebagai gambaran, ada yang membuat perpustakaan keliling dengan
sepeda motor, berkeliling kampung, meminjamkan buku kepada anak-anak secara
sukarela. Bahkan, ada yang membuat perpustakaan keliling itu dengan sepeda.
Inisiatif-inisiatif itu tentu sangat membanggakan. Akan tetapi, untuk memberi
dampak yang lebih luas perlu upaya-upaya yang masif dengan terobosan-terobosan
yang berani melalui sebuah program yang terintegrasi. Di sinilah, peran penting
pemerintah.
Pembiasaan dan peran orang tua
Tak ada cara yang lebih
baik yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya baca masyarakat, selain
dengan pembiasaan. Pembiasaan itu perlu ditanamkan sejak kecil. Program 15
menit membaca sebelum belajar yang digagas Kemdikbud, jika bisa
diimplementasikan secara merata di seluruh sekolah di Indonesia, akan
menjadi pembiasaan yang terus tumbuh.
Perihal program pembiasaan
membaca ini, hal yang sering dilupakan dalam pendidikan sekolah adalah peran
orang tua. Meskipun ada komite sekolah yang di dalamnya terdapat unsur orang
tua dan masyarakat, tampaknya mereka masih belum menunjukkan peran dalam aktivitas
kegiatan belajar anak di sekolah. Dalam konteks meningkatkan daya baca, sudah
selayaknya peran para orang tua itu dioptimalkan. Caranya dengan membangun
kerja sama antara sekolah/guru dan orang tua.
Seperti pengalaman saya
mengamati program membaca di sekolah-sekolah di Australia, para orang tua
terlibat secara aktif dalam proses pendampingan dan pembiasaan membaca
anak-anak.. Dalam hal ini orang tua turut memiliki tanggung jawab mendampingi
dan mengontrol kegiatan membaca anak-anaknya, baik di sekolah maupun di rumah.
Proses keterlibatan itu dapat dilakukan, di antaranya, dengan cara-cara sebagai
berikut.
Pertama, keterlibatan orang tua
di sekolah. Untuk anak-anak kelas 1-2 SD, dengan kemampuan membaca yang masih
terbatas, orang tua yang memiliki waktu berada di sekolah selama beberapa jam bisa
diminta menjadi sukarelawan untuk mendampingi atau membacakan buku untuk
anak-anak selama15-20 menit sebelum pelajaran dimulai. Kenapa perlu
keterlibatan orang tua? Pada usia ini anak-anak belum dapat membaca secara
mandiri dan pendampingan itu tidak mungkin dilakukan oleh guru kelas seorang
diri—mengingat jumlah murid yang besar. Di sinilah peran orang tua sebagai
sukarelawan menjadi penting. Selain itu, kegiatan ini dapat menjadi kegiatan
bermanfaat bagi mereka yang sering berada di sekolah untuk mengantar atau
menunggui anak-anaknya belajar. Sejauh ini para orang tua itu tidak memiliki
kegiatan yang jelas selain berkumpul sesama orang tua hingga tiba waktu anak
pulang sekolah.
Kedua, keterlibatan aktif orang
tua di rumah. Selain membaca 15-20 menit di sekolah sebelum pelajaran dimulai,
membaca 20 menit sebelum tidur di rumah adalah program yang dapat disinergiskan
untuk meningkatkan proses pembiasaan ini. Bukunya dibawa dari sekolah. Dengan
kata lain, sekolahlah yang menyediakan bacaan untuk dibawa pulang. Idealnya,
setiap kelas menyediakan kotak khusus yang berisi buku-buku yang dapat dipilih
dan dibawa pulang oleh anak-anak untuk dibaca di rumah. Keesokan harinya atau
beberapa hari kemudian buku-buku itu dibawa lagi ke sekolah untuk diganti buku
yang lain. Begitu seterusnya.
Untuk memonitor kegiatan
ini anak diberi buku harian khusus untuk mencatat hasil bacaan dan orang tua
membubuhkan parafnya setiap kali anak selesai membaca. Pada anak kelas 1-2
orang tua mendampingi dengan membacakan buku untuk anak-anaknya sebagaimana
dilakukan di sekolah, sedangkan untuk usia anak yang lebih besar, kelas 3-6 SD,
buku catatan itu sedikit berbeda. Di situ anak diminta meringkas hasil
bacaannya dan orang tua memberi paraf. Dengan demikian, anak juga mulai belajar
menuliskan pikiran-pikirannya. Buku catatan itu dibawa tiap hari untuk
diperiksa oleh guru di sekolah. Melalui buku catatan khusus, guru dapat melihat
kemajuan yang dicapai para siswanya dalam membaca. Berikutnya, guru dapat
memberi reward berupa macam-macam
stiker menarik seperti bintang atau kata-kata pujian lain. Jika mencapai jumlah
buku tertentu, misalnya 10 buku dalam seminggu, guru dapat memberi reward khusus, misalnya berupa
sertifikat. Hal ini dapat memotivasi anak-anak untuk tidak tertinggal membaca
setiap malamnya.
Program kegiatan 20 menit
membaca sebelum belajar di sekolah dan 20 menit membaca sebelum tidur di rumah
merupakan program yang perlu diintegrasikan. Pihak sekolah berperan aktif dalam
membangun kerja sama ini. Pemerintah pun dapat memberikan imbauan kepada
masyarakat, misalnya dengan memberikan informasi dan sosialisasi seluas mungkin
melalui berbagai media.
Jika anak-anak sudah
ditanamkan mencintai buku pada usia dini, tak akan sulit baginya untuk membaca
buku pada usia yang lebih besar ketika mereka dituntut untuk membaca lebih
mandiri—saat tidak ada lagi guru atau orang tua yang memonitornya. Bukankah ada
peribahasa mengatakan: ala bisa karena
biasa? Karenanya, pembiasaan adalah sebuah proses yang mutlak dilakukan.
Reading challenge
Program lain yang dapat
menarik minat anak-anak untuk membaca adalah kegiatan bernama reading challenge. Di Australia, reading challenge merupakan kegiatan
tahunan yang berhasil mendorong minat baca secara signifikan. Reading challenge bukanlah kompetisi
membaca. Tetapi, anak-anak ditantang untuk dapat menyelesaikan bacaan atas
sejumlah buku selama periode tertentu. Misalnya, 30 buku selama satu semester
atau satu kuartal. Dari 30 buku itu sebagian besar buku dipilih oleh
guru/sekolah, dan sisanya pilihan sendiri. Tentu, buku bacaan harus disediakan
di perpustakaan sekolah. Pemerintah bertindak sebagai penyelenggara program ini
dan bekerja sama dengan sekolah untuk mengajak murid-muridnya berpartisipasi.
Di Australia, program ini cukup bergengsi dan siswa yang dapat memenuhi target
membaca yang telah ditetapkan oleh panitia mendapat penghargaan dari
pemerintah. Program yang telah berlangsung selama 13 tahun ini terbukti
berhasil mendobrak minat baca masyarakat, tercatat 2,2 juta anak telah
mengikuti program ini dan 42 juta buku telah dibaca (https://online.det.nsw.edu.au/prc/rules.html).
Tentu saja, untuk
mengimplementasikan program-program di atas ini, sekali lagi, pemerintah harus
lebih dulu memenuhi ketersediaan buku bacaan yang diperlukan anak-anak di
sekolah. Dari situ kegiatan sejenis reading
challenge akan meningkatkan kebanggaan anak-anak terhadap jumlah bacaan
yang telah dicapainya.
*Penulis adalah peminat
masalah pendidikan, staf pengajar ISBI Bandung.
Artikelnya sangat bagus. Terima kasih sudah membagikan info yang bermanfaat.
BalasHapusFurniture Rotan
nice info banget kak
BalasHapusperbedaan tepung tapioka dan maizena
Terima kasih sudah mampir. :)
BalasHapus