Balada menjadi biker di negeri sepeda

parkiran sepeda di Den Haag central station
Siapa yang tak kenal Belanda, Negara yang begitu banyak menyimpan jejak sejarah masa lalu bangsa kita. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan.  Melainkan sebuah pengalaman berharga menjadi seorang biker di sebuah negeri sepeda.
Maklum, di negeri ini sepeda ada dimana-mana. Bahkan, di berbagai tempat umum, tempat parkir sepedalah yang paling banyak dijumpai.

Hari pertama menginjakkan kaki di kota kecil Leiden, sudah terasa keindahan negeri ini. Sungai-sungai membelah setiap sudut kota. Mengalir di antara rumah-rumah, bangunan, dan jalan. Teringat saat masih berada di pesawat ketika mendekati bandara Schipol di Amsterdam. Dari jarak entah berapa ratus atau ribu kaki, saya melihat begitu banyak saluran air sehingga dari atas peswat gambarannya mirip pematang sawah, bergaris-garis putih memanjang, berjajar diantara berbagai bentuk bangunan. Rupanya, itulah mengapa kita menyebutnya negeri kincir angin. Kincir angin yang bertebaran di mana-mana itu berfungsi sebagai pompa air. Ya, Belanda memang dikelilingi air. Terlebih, Negara ini juga memiliki daratan yang lebih rendah dari permukaan laut. Karenanya tanggul-tanggul yang kokoh juga mengelilingi negeri ini.

Kembali pada kisah soal biker. Sejak awal saya sudah tahu bahwa berada di Belanda berarti saya akan menjadi biker. Bepergian kemanapun sangat mudah dijangkau dengan sepeda, begitu seorang teman memberi tahu. Mulanya, jujur saya tak terlalu senang. Mending naik bis aja deh, engga usah repot-repot mengayuh. Cape kan? Tapi bukan itu pangkal soalnya. Masalahnya, saya terlalu takut naik sepeda di jalan raya. Pasti sangat gugup, begitu saya membayangkan. Lagi pula entah sudah berapa belas tahun tidak bersepeda. Pertama kali punya sepeda itu kelas 6 SD sebagai hadiah sebuah kejuaraan. Setelah itu, naik sepeda lagi saat kuliah untuk pergi ke warung saat tinggal bersama keluarga saudara di Bandung. Setelah itu? Rasanya tak pernah lagi.

Tapi, kali ini keadaan benar-benar memaksa. Hari pertama di Leiden itu saya diajak keliling kota dengan berjalan kaki oleh teman saya. Belum bersepeda. Biar mengenal dan menghapal jalan dulu. Baru pada hari kedua nyali saya diuji. Jarak dari rumah ke kampus kurang lebih 3 KM. Saat berkeliling kemarin itu saya lihat jalan-jalan khusus untuk sepeda cukup menyenangkan karena ada jalur khusus, meski tidak di semua tempat. Artinya, tak perlu takut. Begitu saya menghibur diri.

Dengan perasaan was-was, mulailah saya menuntun sepeda keluar garasi rumah teman yang meminjami saya sepeda selama di Belanda 2 bulan ini. Lalu, perlahan-lahan saya pun menaikinya. Agak berdebar-debar juga. "Naik sepeda itu tidak akan pernah lupa," begitu seorang teman menghibur.

Saat yakin saya bisa menaikinya, saya pun langsung jalan...bersepeda. Ketika masih berjalam di dalam komplek perumahan aman-aman saja karena jalanan memang sepi. Barulah...saat masuk jalan besar, kaki ini mulai gemetar, saat melihat mobil-mobil berseliweran gemetar kaki ini. Apalagi ketika berada di jalur yang tidak ada pembatas antara jalur sepeda dengan mobil. Meski, jalurnya khusus untuk sepeda, saya tetap deg-degan. Kalau saya hilang keseimbangan lalu jatuh. Apa jadinya? Jatuh ke arah di mana mobil-mobil berseliweran? Uh, pasti menakutkan.  Sambil mengingat-ingat jalur yang harus dilalui saya mengayuh pelan. Udara dingin yang menggigit terasa gerah di tubuh yang gemetaran itu. Yang paling deg-degan, selain saat di jalan raya, adalah saat bertemu perempatan. Khawatir ketemu mobil atau sepeda lain yang hendak melaju dair arah lain. Perjalanan 3 KM pun terasa seperti perjalanan tak berujung. Lama sekali.

Meski tidak terlalu sukses karena beberapa kali nyasar, namun syukur Alhamdulillah sampe juga di kampus tujuan. Namun masalah tak berhenti di situ, saat hendak mengunci sepeda kenapa tidak bisa ya. Bukankah mengunci itu cukup diputar saja kunci itu setelah masuk ke lubangnya? Setelah mencoba beberapa saat tetap tidak bisa. Akhirnya, menelpon teman yang meminjami sepeda. “coba tanya orang yang ada disitu” teriaknya dari ujung telpon.

Setelah memandang sekeliling, saya lihat dua orang laki-laki yang tengah asyik mengobrol di taman. Oh baiklah, saya akan minta tolong orang ini, pikir saya.
“Meneer, could you help me please! I can’t lock my bike,” saya setengah berteriak.
Laki-laki yang cukup ramah itu pun membantu dan memberitahu saya cara mengunci sepeda. Ternyata caranya memang beda. Kunci yang tertancap di lubangnya itu cukup digerakkan sedikit ke kanan, lalu ada tuas di arah yang lain yang harus ditarik ke bawah unuk mengunci. Setelah tuas berhasil ditarik kebawah itulah sepeda pun terkunci. Baru kunci bisa dilepas dari sepeda. Dengat keringat bercucuran dan nafas yang ngos-ngosan lega juga rasanya bisa sampai dengan selamat.

Selama beberapa hari setelahnya, saya tetap tegang saat bersepeda di jalanan yang ramai.  Meski tidak terlalu sulit, saya berusaha mempelajari bagaimana tatakrama bersepeda di jalan raya. Memperhatikan bagaimana orang-orang bersepeda, isyarat jika hendak belok dan seterusnya. Ada rambu-rambu lalu-lintas yang juga harus dipatuhi. Dus, jika di tanah air lampu lalu-lintas itu hanya untuk kendaraan bermotor (karena tidak mengikut sertakan pejalan kaki untuk menyebrang), di Australi lampu lalu-lintas untuk kendaraan bermotor dan isyarat buat pejalan kaki untuk menyebrang. Maka, di Belanda lampu lalin itu ditujukan untuk kerdaraan bermotor, sepeda, dan pejalan kaki. Ada tanda sepeda di setiap rambu-rambu yang ada. Dimana-mana. Tidak peduli kelas sosialnya apa, mayoritas orang di Belanda bepergian dengan sepeda. Sungguh menyenangkan pada akhirnya...:)

Komentar

  1. Dulu saya langganan Majalah Holland Horizon dari Kedubes Belanda, maksudnya langganan gratisan, hehe.. Dari sana saya tahu bahwa di Belanda itu jumlah sepeda lebih banyak dari jumlah penduduknya.

    Ini ada artikel dari sepupu saya yang hobi naik sepeda dan menemukan surganya di sono:

    http://rindupulang.blogspot.com/2009/10/bersepeda-di-belanda.html

    BalasHapus
  2. Sip... makasih... saya pun kini rindu bersepeda hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini