Belajar dari Negeri Gajah Putih

kereta ekonomi yg kinclong :)

Perjalanan ke Bangkok Thailand untuk sebuah simposum Internasional tentang seni pertunjukan, menyisakan berbagai pelajaran berharga buat saya dari negri berjulukan “Gajah Putih” itu. Kunjungan saya yang singkat (4 hari) plus disibukkan oleh 3 hari full konferensi dari pagi sampai malam, diam-diam saya mengagumi negri yang tak pernah terjamah kolonialisasi itu. Kekaguman saya terutama pada kemampuan bangsa itu membangun negrinya menjadi negri modern yang diperhitungkan, khususnya di kawasan Asia Tenggara, dengan berpijak pada kekuatan nilai-nilai budayanya. Sistem kerajaan yang masih dianut membuat rakyat Thailand sangat takzim pada rajanya. Seperti cerita suami saya saat menikmati perjalanan keliling Bangkok:
 “Saat kami (suami dan anak laki-laki kami berumur 9 tahun) tengah menikmati keindahan pemandangan sepanjang sungai Chao Phraya tiba-tiba seorang pemuda menunduk hormat dengan tangan posisi menyembah di dada ke arah sungai. Tentu kami bingung dan heran dengan tingkahnya. Saat memperhatikan ke sekeliling ternyata ada foto raja yang terbentang di sebuah gedung nun jauh di seberang sungai.”

Simbol penghormatan terhadap raja dengan memajang fotonya ini ada di mana-mana, di kuil, gedung-gedung pemerintahan, bahkan uang baht dalam berbagai nilai semua bergambarkan sang raja. Rasa hormat dan tunduk pada pemimpin tertingginya itu sepertinya membuat kepatuhan masyarakat Thailand terhadap peraturan sangat tinggi.

Karena biaya hidup yang murah di Thailand, saya pun kerap membadingkannya dengan negri sendiri, terutama Jakarta. Nyatanya, kenyamanan dan situasi kota Bangkok jauh lebih menyenangkan. Jalan-jalan bersih, hampir tidak ada sampah berceceran, atau kalau pun ada sangat sedikit. Yang mengagumkan saya adalah kebersihan sarana transportnya. Karena saya tinggal di wilayah Don Muang airport, untuk mencapai Bangkok saya harus naik kereta selama 1 jam. Kereta ekonomi yang saya naiki kondisinya tak jauh berbeda dengan kereta ekonomi yang ada di tanah air: tua dan rusak di beberapa bagian. Tiketnya pun sangat murah: 5 baht saja atau sekira 1600 rupiah.Tapi, yang istimewa adalah kebersihannya: sangat bersih, nyaman dan tidak ada orang merokok. Thailand merupakan Negara yang sudah berhasil menerapkan larangan merokok di tempat umum. Selama berada di negeri itu saya hampir tidak menemukan orang merokok di tempat umum, seperti di kendaraan umum. Jika melanggar dendanya 2000 baht. Alhasil, rasa nyaman terasa dimana-mana. Bagi orang kita hal ini masih terasa sulit. Seorang teman seniman dari Bandung yang tak sengaja bertemu di Bandara bercerita bagaimana temannya berkali-kali kena denda karena merokok di tempat yang dilarang, seperti di lobby hotel. Ini memang soal kebiasaan.

Waktu yang saya punya untuk berjalan-jalan selepas konferensi hanya 1 hari saja sambil menunggu penerbangan pulang pada malam harinya. Dalam sehari itu, saya berkesempatan menikmati berbagai jenis transport, diantaranya MRT yang di Jakarta masih diperdebatkan pembuatannya. Tapi, yang paling mengesankan adalah transportasi di sungai. Sungai pun menjadi salah satu sarana transportasi public yang efektif dan menyenangkan. Meskipun harus berdesak-desakan karena selalu penuh, pemandangan menyenangkan di sepanjang sungai menjadi hiburan tersendiri. Dengan tiket 15 baht (5000 rupiah) kita bisa mengikuti rute perjalanan selama 1 jam. Itu tiket ekonomi. Mau yang mahal dan mewah pun ada. Dus, semua jenis kapal ada di sungai ini. Jarang sekali saya melihat sampah di sungai besar yang membentang membelah Bangkok ini. Chao Phraya memang terkenal sebagai destinasi para turis yg ingin menikmati keindahan Bangkok dari sungai. Meskipun rumah-rumah dan gedung-gedung berjejer di sepanjang sungai, termasuh rumah-rumah kumuh, orang sepertinya tak mau membuang sampah sembarangan ke sungai. Beda dengan kita, yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Sangat menyedihkan. 

Kekuatan mereka soal bahasa juga istimewa. Meskipun menjadi Negara dengan system tourism yang baik, Thailand tetap menggunakan aksara dan bahasanya dengan sangat menonjol. Banyak tulisan Thai di mana-mana tanpa terjemahan bahasa Inggris. Bahkan, dalam even internasional seperti yang saya ikuti, setiap announcement yang disampaikan dalam bahasa Inggris tetap ditranslate ke bahasa Thai. 

Untuk menjadi sebuah bangsa yang maju, kita memang harus mau belajar pada siapa saja, termasuk negeri tetangga yang satu ini. Saya bermimpi, suatu saat di Kalimatan misalnya, sungai menjadi sarana transportasi publik yang membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Kata Terlambat: Pengalaman tentang Kawat Gigi

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Mencintai Buku Sejak Dini