MIKO DAN FUKO (FOUCAULT)
“Bu, ceritakan
tentang Foucault,” pinta Miko saat saya hendak menemaninya tidur semalam. Memang
telah menjadi kebiasaan Miko saat menjelang tidur untuk membaca, dibacakan atau
mendengarkan cerita. Tapi, permintaannya kali ini membuat saya terkejut dan
kening berkerut-kerut. Maklum, saat itu saya memang baru saja selesai membaca
sebuah chapter “The Body of the Condemned” dari salah satu buku klasik Foucault
yang terkenal “Discipline and Punish” untuk keperluan referensi kuliah tentunya.
“Nak, ibu tidak bisa menceritakannya, karena itu sulit.
Nanti kalau Miko sudah kuliah baru Miko akan mengerti,” saya mencoba memberi
pengertian.
“Ah, enggak bisa bu, ibu harus menceritakannya sekarang.
Kata ayah, ibu habis membaca buku Foucault” anak laki-laki saya bersikeras.
Hmmmm, masih dengan lembaran kertas di tangan, dalam
rangka maraton mengejar target membaca referen yang segunung itu, saya mulai
berfikir keras. Bagaimana caranya menjelaskan pemikiran seorang filosof
Perancis eksentrik, yang pemikiran sudah saya baca sejak S2, tapi jujur baru kali
ini saya membaca langsung buku sumbernya. Baru satu bab itulah yang saya baca.
Bagaimana saya menjelaskan konsep “discourse”nya yang rumit sekaligus sangat
terkenal dan berpengaruh di dunia keilmuan selama puluhan tahun kepada seorang anak
usia 8 tahun.
“Nak, dia itu nama lengkapnya adalah Michael Foucault. Lidah
orang Prancis melafalkannya “Michel Fuko”. Kalau di Sunda namanya menjadi...emmmm...Mikala
Bagjana...” kata saya sambil tertawa merujuk pada namanya sendiri. Ia pun
tertawa geli.
“Ah, yang bener Ibu,” tanyanya penasaran.
“Ya, kira-kira begitu. Kan Mikala itu bahasa Arab yang
dalam bahasa Ibrani Mikail, dan di Barat jadi Michael. Nah, kalau Foucault
itu...mungkin sama dengan Bagjana... (kalau yang ini saya ngasal :p)”. Miko pun
semakin antusias mendengarkan.
“Dulu, saat mencari nama untuk Miko, ayah dan ibu
menyeleksi begitu banyak nama sampai membeli buku tentang nama-nama. Tapi, tak
satu pun yang terasa cocok. Ibu ingin nama itu istimewa, tidak biasa. Lalu, ibu
teringat tesis yang baru selesai ibu tulis setahun sebelumnya yang salah satu
teorinya diambil dari Foucault ini, namanya teori “discourse”. Ibu pun memutuskan mengambil nama depannya
“Michael” tapi dalam bahasa Arab yang juga disebut dalam al-Qur’an yaitu
Mikala, untuk menyebut malaikat Mikail, malaikat yang ditugaskan Allah memberi
rejeki kepada manusia, dengan harapan Miko mudah mendapatkan rejeki.”
Saya pun bercerita panjang lebar tentang asal usul
namanya yang memang salah satunya terinspirasi dari nama ini. Maklum, saat itu
saya sedang tergila-gila teori Postcolonialism yang gagasan utamanya merujuk
pada seorang Ilmuwan Palestina Edward Said dalam bukunya “Orientalism”, yang
menjelaskan tentang oposisi biner dikotomi Barat-Timur yang dikonstruksi oleh
ilmuwan Barat dan bagaimana kemudian Timur itu dikonstruk sebagai “the other”
atau “yang lain.” Nah, Said dalam menjelaskan konsepnya itu merujuk pada konsep
“discourse” Foucault, selain “hegemoni”nya Gramsci.
Nah, sebenarnya kata ‘Bagjana’ dalam nama tengah Miko diterjemahkan dari nama belakang tokoh ini ‘Said’ yang artinya ‘bahagia’ atau ‘bagja’ dalam bahasa Sunda. Jadi, benar-benar perpaduan Foucault dan Said. Mudah-mudahan kelak Miko bisa sehebat mereka. Amin. Tapi, saya belum menceritakan bagian ini pada Miko, karena menjelaskan Foucault saja sudah pusing, apalagi harus menjelaskan Edward Said di waktu yang sama. Suatu saat akan saya ceritakan siapa tokoh besar ini. Salah seorang ilmuwan yang pro perjuangan rakyat Palestina.
Nah, sebenarnya kata ‘Bagjana’ dalam nama tengah Miko diterjemahkan dari nama belakang tokoh ini ‘Said’ yang artinya ‘bahagia’ atau ‘bagja’ dalam bahasa Sunda. Jadi, benar-benar perpaduan Foucault dan Said. Mudah-mudahan kelak Miko bisa sehebat mereka. Amin. Tapi, saya belum menceritakan bagian ini pada Miko, karena menjelaskan Foucault saja sudah pusing, apalagi harus menjelaskan Edward Said di waktu yang sama. Suatu saat akan saya ceritakan siapa tokoh besar ini. Salah seorang ilmuwan yang pro perjuangan rakyat Palestina.
“Ibu, apa Foucault itu orang hebat?” selidik Miko.
“Iya, nak. Dia seorang filosof dari Perancis.”
“Apa itu filosof?”
“Filosof itu pemikir, orang yang kerjanya berfikir,” saya
coba jelaskan sesederhana mungkin.
“Lho, bukannya kita juga selalu berfikir? Apa itu berarti
kita juga filosof?” ia terus bertanya.
“Oh, beda nak. Kalau filosof itu selalu memikirkan
hal-hal yang sulit yang tidak dipikirkan oleh orang biasa seperti kita. Dia
memikirkan hal-hal yang rumit dan abstrak, seperti mengapa dunia ini ada?
Bagaimana proses penciptaan terjadi? dan sebagainya” saya coba jelaskan secara
simple tapi sepertinya masih terlihat rumit.
“Kalau Miko berfikir seperti itu, apa Miko juga bisa
menjadi filosof?”
“Ya, tentu nak,” jawab saya.
“Terus apa yang dipikirkan Faucoult hingga dia menjadi filosof
dan sangat terkenal?” tanyanya semakin penasaran.
Hmmmm, saya mulai kehabisan kata-kata. Bagaimana
menjelaskan konsep yang rumit dengan bahasa yang sederhana? Kepala saya
berputar-putar mencari kalimat yang tepat.
“Miko, dalam buku yang Ibu baca ini Foucault menulis
tentang sejarah penjara sejak jaman dulu kala sampai jaman modern. Ia meneliti
tentang orang-orang yang di penjara, tentang hukuman yang diberikan pada
orang-orang ini. Apa yang membuat orang dihukum dengan cara seperti itu? Apa
sistem yang melatarbelakanginya? Bagaimana hukuman itu kemudian berubah? Kemudian,
orang-orang yang terlibat memberikan hukuman juga berubah, tidak hanya hakim. Begitu
seterusnya. Tentang ini ibu ceritakan nanti ya” saya mencoba berkelit untuk
menghindari penjelasan yang lebih rumit tentang “power and knowledge” yang
menjadi pemikiran utama Foucault.
“Memangnya bagaimana orang-orang yang di penjara itu? Apa
mereka disiksa? Wah, kasihan juga ya?” pertanyaannya yang bertubi-tubi membuat
saya bingung menjelaskannya.
Belum lagi pertanyaannya saya jawab, ia bertanya lagi, “bagaimana
Foucault meninggal ibu?”
Waduh, pertanyaanmu kok aneh-aneh ya nak. “Ya, yang pasti
dia meninggal karena sudah waktunya dipanggil Tuhan,” jawab saya retoris.
“Ah, ibu, kira-kira sebabnya apa? Apa dia sakit atau
gimana?” dia terus bertanya.
“Nak, sekarang waktunya tidur, sudah larut. Besok cerita
Foucaultnya kita lanjutkan ya.” Saya mencoba melarikan diri dengan cara yang
klasik sebelum ia bertanya dengan pertanyaan yang lebih absurd yang sulit
dijawab.
“Ah ibu, miko enggak bisa tidur kalau cerita Foucaultnya
belum selesai,” ia merajuk.
“”Sudahlah, nak. Ayo, sekarang waktunya berdo’a.”
Tak lama kemudian ia pun tertidur pulas dengan rasa
penasaran yang masih tergambar di wajah polosnya. Semoga kau bermimpi indah
nak, batin saya sambil kembali membolak balik tulisan yang tengah saya baca
tentang perdebatan klasik Antropologi dalam “The Making, Unmaking of
Anthropological Myth” karya Derek Freeman seraya berharap mudah-mudahan besok
ia tidak bertanya tentang buku ini.
***
Esoknya, saat kami tengah berjalan menuju halte bis untuk bepergian ke city, Miko pun lapor pada ayahnya.
“Ayah, Ibu sudah bercerita tentang Foucault. Miko
sekarang tahu siapa dia.”
“Hmmmm, bagus nak. Besok, tanya ibu tentang Baudrillard,”
ujar ayahnya bermaksud menggoda.
Rupanya rasa penasaran anak 8 tahun ini langsung keluar. “Siapa
itu Baudrillard?”
Saya yang berada tak jauh dari mereka hanya diam sambil
tersenyum-senyum. Tak terbayangkan bagaimana saya harus menjelaskan konsep
orang yang satu ini yang dikategorikan sebagai tokoh Postmodern dengan bahasa
anak-anak. Oh NO...lebih baik saya pura-pura tak dengar, pura-pura sibuk dengar musik di hp.
“Dia itu masih temennya Foucault, sama-sama orang
Perancis,” komentar ayahnya.
“Terus? Apa lagi?”
Nah loh, saya tetep tutup mulut. Miko mulai merajuk pada
saya untuk menjelaskan orang yang disebut barusan. Saya tetap tak bergeming.
“Ayolah ibu, ceritakan tentang Baudrillard,” Miko terus
merajuk.
Ayahnya yang menurut saya memang usil itu menimpali, “dia
punya anak namanya “Si Mulakra”, menyebut sebuah konsep yang cukup popular dari
tokoh yang satu ini. Karena saya belum punya ide bagaimana menjelaskan konsep “simulacra”,
saya memilih diam seribu bahasa. Lalu, terbersit dalam pikiran saya, “asyik
juga ya kalau bisa menulis buku filasat
dan tokoh-tokoh terkenal dalam dunia keilmuan untuk anak-anak.” Saya pun
teringat sebuah buku yang pernah saya baca bertahun-tahun lalu saat saya masih
menjadi mahasiswa S1. Judulnya “Dunia Sophi”, sebuah novel filsafat terjemahan yang
ditulis untuk remaja atau pemula yang saat itu cukup terkenal.
Sementara itu, Miko terus merajuk pada saya untuk menceritakan Baudrillard dan simulacra-nya. "Nanti ya, kalau ibu sudah punya ide bagaimana cara menjelaskannnya, akan ibu ceritakan pada Miko, soalnya itu rumit." Untunglah, bis yang kami tunggu datang dan itu menyelamatkan saya dari kejaran rasa penasaran Miko.
Komentar
Posting Komentar